The Chronicles of Porkah Chapter 6 - Adipramana


"Kamu! Berani-beraninya kamu membuat onar di sekolah yang sudah mau menampung anak seperti kamu!" ucap Pak Handoko sambil menggerakkan tangan kanannya yang ia kepal, menyisakan tulunjuk yang ia acungkan ke wajah Cakra. 

Seluruh sekolah tak dapat bersikap tak acuh akan situasi ini, semua murid dari kelas sepuluh hingga dua belas berusaha mengintip dari kejauhan, mereka tidak berani berada lebih dekat dari ruangan kepala sekolah. Karena, selain takut akan Steven, mereka juga dibubarkan oleh para guru dan juga petugas sekolah, para guru pun bersikap bijaksana untuk tidak ikut penasaran mengenai kejadian ini. 

Karena, setelah masalahnya terselesaikan, pasti mereka akan membahasanya bersama Pak Handoko. Lantaran memang Pak Handoko selalu hadir dalam setiap rapat dan keputusan sekolah.

"Pak Andi!" kini ia memalingkan tatapan kejinya ke Pak Andi.

"Saya mau anak ini dikeluarkan sekarang juga! Bikin malu!" Steven tanpa segan menunjukkan rasa bahagianya, sedangkan Cakra berusaha menahan emosi, ia mencoba menahan diri untuk tidak membuat bapak tua itu berakhir di rumah sakit. 

Lagipula tanparan Pak Handoko tidak begitu menyakitkan, hanya terasa perih sedikit, dan yang menjadi alasan utama adalah, beliau tetap saja orang tua yang harus dihormati. 

"Tapi Pak!" Pak Andi berusaha menjelaskan keadaan yang sebenarnya.

"Kenapa?"

"Dia anak baru Pak, baru kemarin dia masuk, nggak mungkin langsung dikeluarkan, nanti apa kata pihak yayasan Pak?!" Pak Andi berusaha membuat Pak Handoko sadar akan posisinya. 

"Saya ketua yayasan, jadi saya berhak! Lagipula kenapa bisa ada murid baru tanpa sepengetahuan saya?" Cakra tak kuasa menahan diri untuk tidak mengejek Pak Handoko. 

"Berani-beraninya kamu mengejek saya!" ucap Pak Handoko begitu melihat raut muka Cakra yang menyunggingkan senyum ejekan padanya.

"Kamu dari anak panti mana? Kenapa dia bisa jadi murid baru!?" Pak Handoko tak kuasa untuk menahan amarahnya, ia selaku ketua yayasan merasa harga dirinya terinjak-injak, karena tidak mengetahui bahwa ada yang memasuki daerah kekuasannya tanpa meminta izin.

"Dewan direksi yang memerintah langsung Pak! Cakra ini tim olimpiade Fisika yang akan mewakili Indonesia ke IPhO* Pak! Saya pikir Pak Handoko tau!" Pak Handoko sedikit bergidik kemudian memandang Cakra dengan tatapan menelisik. Wajah Steven yang semula penuh dengan rona kebahagiaan berganti menjadi rasa takjub, sedetik kemudian berubah menjadi rasa tak suka, cenderung iri.

"Baik, itu sesuatu yang harus kita punya!" ia akhirnya menyetujui agar Cakra tetap dipertahankan. Steven sedikit kesal dengan keputusan ayahnya, ingin sekali ia membantah dan meminta Ayahnya untuk mengeluarkan Cakra, tapi ia tahu bahwa ayahnya tidak dapat melakukannya karena keberadaan Cakra di sekolahnya berkat dewan direksi. 

Ia sedikit tahu bahwa sekolah ini sepenuhnya bukan milik ayahnya, namun karena sikap ayahnya yang menjadikan sekolah ini seolah-olah miliknya, membuat kenyataan itu tersamarkan hingga hilang dari benaknya. 

Lagipula selama ini yayasan sepenuhnya dipercayakan kepada ayahnya, tanpa diganggu oleh pihak dewan direksi, sehingga membuat Pak Handoko menjadi besar kepala.  

"Tapi kejadian ini nggak bisa dibiarkan! Dia tetap harus dihukum. Kamu, hubungi oran-tua kamu! Masih punya kan?" bentaknya dengan nada penuh ejekan sembari berjalan menuju tempat Pak Andi, lalu mendorong tubuh kepala sekolah itu, kemudian mendaratkan tubuhnya dengan arogan ke sofa tempat yang semula di duduki Pak Andi. 

Cakra sudah tak dapat membiarkan sikap angkuh Pak Handoko, awalnya ia tidak akan menggunakan ayahnya dalam rencananya. Akan tetapi, karena sudah mendapatkan perlakuan kasar dari orang tua itu tanpa mengetahui terlebih dahulu akar permasalahnnya, membuat Cakra tak sungkan untuk meminta ayahnya turun tangan.  

"Ok!" tantang Cakra sambil mengeluarkan ponselnya, kemudian memerintahkan jarinya menari di atas layar kaca datar berukuran tak lebih dari 5 inci untuk menghubungi ayahnya.

"Yah?" ucapnya begitu nada dering yang ia dengar berubah. 

"Kenapa Dek? Tumben telepon pas kamu lagi sekolah? Masalah di sekolah udah beres?" Steven mengangkat alis dan berbisik pada teman-temannya, mengejek Cakra yang merupakan anak manja, saat mendengar perkataan ayah Cakra sayup. 

Ia merasa bangga dapat mengusik Cakra sampai-sampai, Cakra harus melapor pada ayahnya.

"Itu dia masalahnya Yah, Cakra dipanggil ke ruang kepala sekolah, Ayah disuruh dateng ke sekolah!"

"Oh yaudah, ayah ke sana serakang!" Cakra kemudian duduk kembali sambil menatap wajah Pak Handoko tajam.

"Kurang ajar kamu ya! Tidak sopan kepada orang tua! Berani kamu menatap saya seperti ini? Nggak diajarkan sopan santun kamu sama orang tua kamu? Penasaran saya, seperti apa ayah kamu, perlu saya tegaskan juga dia biar bisa ngajarin kamu jadi anak yang bener! Atau kayanya saya harus benar-benar mengeluarkan kamu!"

"Sudah Pak! Sudaaah... Pak Handoko kan belum mengerti titik awal permasalahan ini!" lagi-lagi Pak Andi berusaha menenangkan Pak Handoko, ia membungkuk sedikit agar tangannya dapat mengelus pelan lengan Pak Handoko yang mulai bergerak ke wajah Cakra. 

Posisinya yang berdiri di antara sofa yang di duduki oleh Pak Handoko dan Cakra, sedikit menguntungkan bagi Cakra, paling tidak, Pak Andi akan menjadi perisai baginya.

"Emang apa lagi yang harus dimengerti? Jelas-jelas dia membuat anak saya menjadi seperti itu!" bentak Pak Handoko sambil tangannya diarahkan ke Steven. 

Steven memanfaatkannya dengan berdesis sambil memegangi wajah dan tubuhnya yang terdapat jiplakan sepatu Cakra.

"Saya..." Cakra berusaha membela tapi langsung dibentak oleh Pak Handoko.

"Diam kamu!! Mau saya gampar lagi?" Cakra terpaksa diam sambil menahan napasnya yang semakin tidak tertatur. 

Dia sungguh ingin cepat-cepat ayahnya datang untuk membumkan mulut orang tua ini. Pak Andi langsung berusaha mendinginkan emosi Pak Handoko, sambil berusaha menjelaskan akar permasalahan kejadian ini. 

"Tadi sudah saya tanyakan Pak, persoalannya apa, tapi karena tidak ada bukti yang kuat maka belum ditemukan titik terangnya!" 

"Emang mau bukti apa lagi? Jelas-jelas anak saya bentuknya sudah seperti itu gara-gara dia, masih sukur nggak saya laporkan ke polisi langsung!" 

"Iya Pak, saya tau, tapi menurut Nak Cakra, dia hanya berusaha melindungi diri Pak, dari keterangannya, Steven-lah yang telebih dahulu mengganggunya!"

"Bah... alasan apa itu! Kamu tau sendiri sesopan dia! Nggak mungkin dia gangguin teman-temannya, dia anak yang baik!" bela Pak Handoko.

"Lagian kan ada CCTV! Emang belum kalian cek kejadiannya bagaimana?" 

"Sudah Pak! Tapi itu dia Pak... saat kejadian berlangsung CCTV mati Pak, nggak tau kenapa, dan bukan sekali ini saja Pak. Setiap ada kejadian heboh pasti CCTV mati Pak!"

"Alasan saja kamu! Orang CCTV-nya baru kok! Udah kamu pastikan CCTV-nya nggak bisa?" 

"Sudah Pak!" 

"Yah mau gimana lagi, selagi menunggu orang tuanya, saya mau bawa Steven ke klinik, kamu urus teman-temannya di UKS, dan jaga dia! Jangan sampai dia keluar dari ruangan ini, kalo orang tuanya sudah datang hubungi saya!" ucapnya seraya berdiri sambil menyuruh Steven megikutinya, meninggalkan Cakra dan teman-temannya bersama Pak Andi. 

Selang tiga puluh menit Cakra menunggu di kantor kepala sekolah sendirian sambil memainkan ponselnya, tiba-tiba Pak Adipramana masuk diikuti Pak Andi di belakangnya. 

Cakra hanya menoleh ayahnya sambil memamerkan senyuman kemenangan pada ayahnya.

"Kenapa kamu senyam-senyum begitu?" tanya Pak Adipramana berjalan menghampiri Cakra kemudian duduk di sebelahnya.

"Gapapa!" jawabnya masih menyeringai.

"Maaf Pak....?" 

"Adipramana!" jawab ayah Cakra ke arah Pak Andi sambil merentangkan tangannya untuk mengajak Pak Andi berjabat tangan. 

Entah mengapa Pak Andi menjadi sungkan dan seakan kecil begitu ia melihat Pak Adipramana turun dari mobil mewah. Awalnya ia bingung kenapa ada mobil mewah yang sering ia lihat pada film-film luar negeri namun tak pernah ia temukan di dunia nyata-masuk ke area sekolahnya, saat ia baru saja keluar dari UKS. 

Diperhatikannya mobil tersebut sambil melangkah menuju mobil itu, ia berpikir mungkin orang di dalam mobil itu salah alamat. Begitu  hampir sampai di tempat tujuannya, ia semakin tak percaya dengan penampilan akan orang yang baru saja keluar dari mobil mewah tersebut. 

Dalam bayangannya, orang yang berada dalam mobil mewah itu akan menggunakan setelan jas, rambut klimis, serta sepatu mengkilap. Namun, penampilan Pak Adipramana jauh dari kesan mewah, sehari-hari ia hanya memakai sweater rajutan dengan ritsleting sepanjang sepuluh sentimeter yang terdapat di antara dadanya, serta celana kain yang menutupi kakinya hingga lutut. 

Ia juga hanya beralaskan sandal. Pak Adipramana jarang berpenampilan rapi, kecuali disaat tertentu saja. Keterkejutan Pak Andi bertambah saat mengetahui bahwa orang yang mungkin seusianya-empat puluh lima tahun-merupakan ayah dari muridnya yang kini terancam akan dikenakan hukuman. 

Dengan gugup ia mengantarkan Pak Adipramana ke kantornya sampai-sampai ia lupa memperkenalkan diri.

"Oh iya, saya Pak Andi, kepala sekolah Cakra, begini Pak! Pak Handoko, ayah sekaligus ketua dari yayasan yang menaungi sekolah ini, yang meminta Pak Adi untuk datang, tapi beliau sekarang lagi mengantarkan anaknya ke klinik. Mungkin karena khawatir ada apa-apa dengan anaknya, jadi mereka meminta Pak Adi untuk menunggu. Tadi sudah saya kabarkan, beliau juga ternyata sudah dekat, tidak ada luka serius pada anaknya, jadi nggak ada alasan bagi beliau untuk berlama-lama di klinik!" ucap Pak Andi berusaha menjelaskan secara hati-hati.

"Kalau boleh tau anaknya Pak Handoko kenapa Pak?" tanya Pak Adiprama yang memang belum tahu kejadian yang sebenarya. Cakra haya tersenyum lebar saat ayahnya menatapnya.

"Kamu nggak keterlaluan kan?" tanya Pak Adiprama cemas.

"Ya enggak lah Yaah... kan Pak Andi udah bilang tadi kalo dia nggak kenapa-napa!" ucap Cakra entang lalu kembali terpaku pada ponselnya, ia sedang menyaksikan tayangan dokumenter mengenai robot. 

"Jadi Pak Adi sudah tau kejadiannya?"

"Belum Pak, tapi saya tau anak saya ini cukup keterlaluan kalau dia sampai diganggu, apalagi diperlakukan semena-mena. Kalau boleh tau kejadiannya bagaimana Pak?"

"Menurut Cakra anak Bapak, Steven anaknya Pak Handoko membuat Cakra jatuh, setelah itu bukannya minta maaf tapi malah mukulin Cakra, sedangkan dari pihak Steven berkata bahwa dia tidak sengaja membuat Cakra jatuh, dan saat meminta maaf Cakra langsung memukulinya, begitu Pak!"

"Emang CCTV-nya gimana Pak? Bukannya bisa dibuktikan lewat CCTV?" tanya Pak Adipramana sambil menatap Cakra, seakan-akan pertanyaan itu tertuju padanya. 

Namun, kenyataannya memang benar, ia bertanya pada Cakra karena, Pak Adiprama sendiri tahu bahwa Cakra sudah memasang CCTV pribadi di seluruh penjuru sekolah. Hanya Cakra serta satu karyawan sekolah saja yang tahu dimana letak CCTV itu berada. 

Bahkan, sulit untuk menyadari bahwa ada benda berteknologi tinggi yang mengintai di sekeliling mereka, karena CCTV yang dipasang Cakra adalah CCTV pengintai kecil degan resolusi tinggi, lensanya pun dapat di-zoom in dan zoom out, bahkan saat diperbesar, tidak menurukan kualitas resolusi gambarnya. 

Selain itu, CCTV tersebut dapat dipantau dan dikontrol melalui situs perusahaan CCTV tersebut dengan memasukkan identitas pemilik, serta aplikasi yang bisa diinstal di gawai nirkabel seperti ponsel. 

"Iya Pak, saya paham dan mungkin saat ini masalahnya akan menjadi besar, karena CCTV sekolah kami saat kejadian berlangsung tidak beroperasi dengan baik Pak! Sehingga kami tidak mempunyai file yang bisa menayangkan kejadian itu Pak!" 

"Oh begitu, yaudah gapapa Pak, kita tunggu Pak Handoko saja, sudah dihubungi kan orangnya?"

"Sudah Pak, mungkin sebentar lagi beliau sampe!"

Apa yang dikatakan Pak Andi benar terjadi, tiba-tiba pintu ruangan kepala sekolah dibuka paksa oleh Pak Handoko, ia memasuki ruangan kepala sekolah dengan langkah arogan tanpa melihat ke arah Cakra ataupun Pak Adipramana, Steven yang ikut dibelakang ayahnya justru melakukan hal yang berbeda, ia menatap Cakra dengan tatapan penuh rasa tidak suka sambil tersenyum mengejek. 

Pak Andi seketika berdiri untuk menyambut Pak Handoko sekaligus memperkenalkan Pak Adipramana, namun Pak Handoko menggubris Pak Andi dengan mendorongnya dan menyerobot sofa Pak Andi. Pak Adiprama yang melihat itu langsung kecewa melihat sikap Pak Handoko. 

Begitu Pak Handoko sudah mendaratkan tubuhnya pada sofa yang berada di antara sofa yang diduduki oleh Cakra dan Pak Adipramana, dan sofa yang diatasnya terdapat Steven dan Pak Andi. 

Ia langsung menoleh ke Pak Adipramana degan tatapan tegas, ia ingin mengintimidasi ayah Cakra serta berniat menasehatinya agar mengajarkan Cakra sopan santun, serta mendidiknya dengan benar. 

Sekonyong-konyong tatapan itu berubah begitu ia melihat dengan jelas bahwa orang yang berada di hadapanya adalah atasannya. Ia sempat terperanjat kaget dan mengeluarkan suara yang cukup membuat Pak Andi serta Steven kebingungan. Cakra hanya berusaha menahan tawa.

"Paak... Pak Adipramana... kok bisa di sini Pak?" tanyanya bingung sembari beranjak dengan cepat dan membungkukkan badan. Steven membelalakkan matanya, raut wajahnya semakin terlihat rasa kebingungan dan keheranan atas apa yang dilakukan ayahnya. Pak Andi juga ikut belingsatan, tak tahu apa yang harus dilakukan. 

"Saya di sini gara-gara disuruh sama anak saya! Apa kabar Pak Handoko, sudah lama tidak bertemu!" jawab Pak Adiprama sambil mempersilakan Pak Handoko agar duduk kembali. 

Namun, Pak Handoko justru berdiri mempersilakan Pak Adiprama untuk menggantikanya duduk di sofa tersebut. Sedangkan Steven semakin tak dapat membendung keheranannya, apalagi saat Pak Adiprama menyebut nama ayahnya.

"Nggak usah Pak, Pak Handoko saja yang duduk di sana!" ucapnya menolak tawaran Pak Handoko. 

"Jadi Pak Adiprama ayah dari..." ucapannya terhenti saat menyadari bahwa ia tidak mengetahui nama Cakra. Pak Andi yang memahami situasi canggung Pak Handoko terhadap Pak Adipramana, ia berinisitif membisikkan nama Cakra di telinga kanan Pak Handoko.

"Ayah dari dari Cakra?"

"Iya. Saya sudah dengar kejadiannya dari versi Cakra dan Steven, apa Pak Handoko sudah mendengarnya? Lalu Steven baik-baik saja kan? Saya minta maaf kalau anak saya sedikit kelewatan, kalau memang anak saya terbukti bersalah, tolong jangan sungkan untuk menghukumnya!" 

"Maaf Pak, saya belum mendengar kejadiannya, saya panik sehingga langsung datang begitu Steven memberitahu bahwa dia dipukuli teman sekolahnya. Dan saya juga tanpa sadar kepancing emosi sehingga langsung menampar Cakra tanpa mengetahui akar permasalahannya!"

"Kamu menampar anak saya? Atas dasar apa kamu menampar dia?" Pak Adipramana tiba-tiba berubah, awalnya ia bersikap bersahabat dan sportif, namun saat mendengar penjelasan Pak Handoko serta melihat bagaimana dirinya bersikap, sepertinya membuat rasa hormat kepada orang yang lebih tua tiga tahun darinya hilang seketika. 

"Maaf Pak! Saya akui saya salah, mohon ampuni saya sekali ini Pak!" pinta Pak Handoko tiba-tiba membukukkan badannya sambil merapatkan kedua telapak tangannya kemudian menggosok-gosokkanya.  

"Kita bicarakan itu nanti, sekarang yang terpenting adalah bagaimana kejadian yang sebenarnya? Coba tolong Nak Steven jelaskan?" Steven tiba-tiba terkejut begitu Pak Adipramana memanggil namanya, ia bingung harus bersikap apa. Nyalinya menciut saat melihat ayahnya begitu tunduk pada Pak Adipramana. 

"Saya... saya...." ia tidak dapat berkata-kata, Steven hanya menundukkan kepalanya, badannya sedikit bergetar menahan aliran darah yang tiba-tiba mengalir deras ke sekujur tubuhnya. 

"Steven, ayo ceritakan kejadiannya seperti apa?" desak Pak Handoko, Steven hanya terdiam. Pak Andi langsung mengambil alih agar suasanya tidak lagi canggung.

"Begini Pak Handoko, dari penjelasan Cakra, Steven mendorongnya hingga jatuh, setelah itu bukannya meminta maaf tapi malah memukul Cakra, Cakra tidak terima sehingga dia membalas. Tapi, menurut Steven, dia sudah meminta maaf tapi Cakra nggak terima permintaan maaf Steven malah memukulnya, karena nggak terima dipukul begitu saja setelah meminta maaf, akhirnya dia membalas dan terjadilah pertengkaran. Begitulah ceritanya Pak!"

"Apa betul begitu Steven?" Pak Handoko menaikkan nada suaranya. 

"Iya Pah, dia yang mulai duluan!" Cakra tidak percaya bahwa Steven akan sepengecut ini, namun bukan hanya dirinya saja yang tidak mempercayainya. Steven pun menyadari bahwa dia pengecut, dia takut mengakui kesalahannya, entah mengapa semuanya seperti memojokkannya, Pak Handoko yang harusnya membelanya tiba-tiba seperti tunduk dan patuh pada ayah Cakra. Karena hal itu membuat dirinya sedikit kecewa serta marah, sedetik kemudian ia menyesali perkataannya.

"Pak Adipramana sudah dengar sendiri kan, anak saya tidak bersalah Pak!" 

"Hmmm...." Pak Adipramana bergumam lalu menatap Steven. 

"Apa betul kejadiannya seperti itu?" hanya dijawab anggukan oleh Steven.

 "Kalau betul kenapa kamu menunduk?" seketika Steven kaget dan langsung menatap wajah Pak Adipramana.

"Saya kaget Pak, ternyata Bapak kenal ayah saya!" jawab Steven dengan suaran pelan.

"Jadi kejadiannya benar seperti itu?" 

"Benar Pak!"

"Apakah ada buktinya?"

"Coba tanyakan saja sama teman-teman saya Pak!"

"Bukannya ada CCTV? Kenapa kamu malah suruh saya tanya teman-teman kamu? Harusnya kamu suruh saya ngecek CCTV kan?" seketika Steven terpaku, ia sungguh merasa terpojok. 

"Maaf Pak Adipramana.... seperti yang sudah saya katakan kalau CCTV saat kejadian sedang tidak berfungsi Pak, jadi nggak bisa dibuktikan lewat CCTV Pak!" sela Pak Andi berusaha untuk tidak memihak.

"Oh iya saya lupa!" ucap Pak Adipramana lalu menoleh pada Cakra.

"Kamu jadi pasang CCTV-nya Dek?" dijawab anggukan oleh Cakra. 

"Kejadian tadi terekam nggak?"

"Jelas..." ucap Cakra sombong. 

"Bisa kamu kasih lihat ke kita semua?" dengan cekatan dan tanpa meminta izin, Cakra menuju meja Pak Andi. Lalu jarinya bekerja di atas papan ketik komputer kerjanya. Setelah itu, ia memutar laya monitor ke arah mereka. Di layar monitor tersuguhkan kejadian saat Steven menyandung kaki Cakra dengan sengaja, hingga akhirnya pertikaian tak dapat dihindari. Semuanya tempampang jelas. Steven hanya dapat terpaku sambil terbelalak dan sedikit melongo melihat seluruh rangkaian adegan yang baru ia alami beberapa jam lalu. 

 IPhO* Olimpiade Fisika Internasional



Post a Comment

0 Comments