Ingatan Carka memaksa dirinya untuk berada di ruang kerja Pak Adipramana ayahnya, ia sedang duduk di sofa yang berjarak tiga meter dari meja kerja ayahnya. Ruang kerja Pak Adipramana berada di lantai enam puluh lima, lantai tertinggi dari gedung tertinggi di Indonesia, tingginya mencapai tiga ratus meter di atas permukaan tanah.
Belakang meja kerja ayahnya terpampang lukisan besar menggantikan tembok dengan gaya abstrak, sedangkan di sebelah kiri, kaca yang fungsinya pun sebagai dinding dengan langit-langit cembung melengkung, menyuguhkan cakrawala Jakarta yang terhiasi bermacam bentuk bangunan di bawahnya.
Langit pada sore hari itu menyajikan lembayung dengan paparan kumpulan awan kebiruan. Terlihat pula sang surya mulai enggan menampakkan dirinya di ufuk barat, menarik dirinya agar manusia Jakarta tak lagi dapat menikmati pesona yang dipancarkan.
Memicu Cakra memicingkan matanya saat tak sengaja pandangannya menoleh pada kaca. Kilauan wana-warni dari berbagai jenis serta ukuran peranti, yang memproduksi cahaya menjadi cerminan langit tak berbintang petang itu.
Cakra sengaja menghampiri ayahnya begitu pengumuman proses belajar-mengajar usai, untuk melaporkan perihal hari pertamanya masuk sekolah, sekaligus ingin mengemukakan rencana yang akan ia susun agar sekolahnya bersih dari pengganggu. Hari pertama sekolah tidak berjalan begitu mulus, setelah insiden secarik kertas mengenai kepalanya, tidak ada satupun manusia angkatannya yang ingin berdekatan dengannya.
Seolah-olah pada keningnya terlabeli 'Punya Steven', karena memang bagi apa dan siapa saja yang terlabeli 'Punya Steven', maka tak ada satupun dari ke seratus delapan murid di sekolah SMA Berbudi Pekerti akan mengusiknya, kecuali Steven beserta mandatnya.
Terbukti, saat jam makan siang, tak ada satupun yang ingin duduk dengannya, bahkan Dito yang menurutnya bisa mengawali persahabatannya dengan sekolah barunya ikut, melesat jauh begitu melihat keberadaannya.
Cakra menyayangkan hari pertamanya tidak ada kejadian seru, ia berharap Steven akan membawanya pada petualangan remaja di hari pertamanya sekolah, ia tidak sabar mendapati anak itu malu akan dirinya sendiri. Ia tidak sabar ingin bermain-main dengan Steven, dan meleparnya keluar dari sekolah SMA Berbudi Pekerti.
Akan tetapi, hari pertamanya usai dengan hilangnya keberadaan Steven dari pandangannya, karena sebelum jam istirahat Steven diminta pulang oleh kerluarganya, entah karena alasan apa.
"Jadi gimana Dek hari pertama sekolahnya? Seru?" tanya ayahnya begitu usai dengan urusan yang membuat Cakra harus menunggu hampir sepuluh menit begitu ia tiba di ruangan yang berukuran tiga puluh dua meter persegi ini.
"Makanya Cakra ke sini Yaah... Ayah kenal ketua yayasan sekolah Cakra nggak?" tanya Cakra sambil meletakkan ponsel pintarnya ke atas meja berbahan marmer di hadapannya.
"Hmm... Ketua yayasan sekolahmu itu berarti.... Pak Handoko ya?" malah dijawab tanya oleh ayahnya seraya mendorong kursi pijakan pinggul dengan kaki kanannya, kemudian ia beranjak dan melangkah menuju Cakra.
"Enggak tau siapa, tapi Ayah kenal nggak?" ayahnya tak membalas langsung pertanyaan Cakra, ia malah duduk di sofa yang memang dikhususkan untuknya, lalu meletakkan tangannya di atas meja dan memencet salah satu tombol yang ada di meja itu.
Tiba-tiba terdengar suara berat laki-laki memenuhi ruangan besar tersebut, seakan-akan suaranya berasal dari seluruh sudut ruangan.
"Ya Pak Presdir!"
"Ketua Yayasan Asuhan Bunda Wilayah I tempat sekolah Cakra siapa? Saya lupa! Masih Handoko bukan?"
"Betul Pak, saat ini masih Pak Handoko yang dipercaya untuk mengatur yayasan, kalau boleh tau ada masalah apa Pak sampai-sampai Pak Presdir menanyakan soal yayasan yang sudah bertahun-tahun tak pernah Pak Presdir tanyakan?"
"Ah nggak ada apa-apa, terima kasih!" jawab ayah Cakra kemudian sekali lagi jarinya memencet salah satu dari sekian banyak tombol yang terdapat pada meja tersebut.
"Kok kamu nanyain Pak Handoko Dek?"
"Anaknya Pak Handoko satu sekolah sama Cakra Yah, anaknya tukang nge-bully, rencana Cakra mau kasih pelajaran, tapi belum banyak informasi."
"Emang rencana kamu apa?" tanya ayahnya sedikit penasaran dengan gaya mengejek.
"Rencananya, Cakra mo pasang CCTV diam-diam di kelas Cakra, trus juga beberapa di sekitar sekolah, soalnya anaknya Pak Handoko pernah nuduh murid di sana Yah, tapi gak terbukti, kayanya dia punya akses ke ruang kontrol deh, trus banyak karyawan sekolah yang gak berani ama dia, karena semua karyawan mikirnya dia anak pemilik sekolah!"
"Yaudah kamu lakuin aja apa yang menurut kamu benar Dek! Tapi jangan kelewatan yaa... Masa ayah harus ke kantor polisi terus?" ucap ayahnya sambil memasang muka sedih nan imut, layaknya anak kecil polos.
"Hiih apaan sih Yah.... lagian Cakra ke kantor polisi kan sebagai korban! Self-defense!" Cakra menekankan katanya pada self-defense.
"Trus apa yang bisa ayah bantu?" ucap ayahnya tak kalah antusias. Wajar karena Pak Adiprama merupakan orang yang sangat perpegang teguh pada prinsipnya. Salah satunya adalah, ia harus menjadi manusia yang selalu bersikap benar dan adil.
Hal itu dikarenakan ia sangat tersentuh pada sepenggal kalimat yang pernah ia bacat saat remaja. Kalimat itu berbunyi, 'Lebih Baik Mati Daripada Hidup Tapi Bersikap Tak Acuh Saat Melihat Ketidakadilan'. Sepenggal kalimat itu berhasil membuat Pak Adipramana tergugah dan terpacu untuk menjadi manusia berguna bagi manusia lain.
Sejak saat itu, ia memutuskan tujuan hidupnya untuk menjadi manusia yang kaya raya, bukan untuk dirinya melainkan untuk manusia lain.
"Cakra cuman butuh akses buat pasang CCTV tanpa diketahui Pak Handoko, pihak sekolah dan yayasan."
"Gampang itu Dek!"
Sejurus kemudian, tubuh Cakra kembali ditarik oleh pusaran ingatannya, kini ia tengah berada di dalam ruang makan SMA Berbudi Pekerti. Kejadian tidak menyenangkan dari lingkungan sekolahnya masih ia alami, tidak satupun dari mereka yang meladeni sapaan Cakra, padahal ia sudah berusaha untuk bersikap seramah mungkin.
Bahkan, saat ia duduk di salah satu meja makan yang terdiri dari beberapa murid dari kelasnya, serempak mereka beranjak tanpa mengeluarkan suara gaduh, meninggalkan Cakra dalam kesendirian, duduk terpaku di atas bangku yang dapat menampung hingga lima orang.
Mereka berpencar mencari celah yang dapat mereka sisipi. Bahkan, satu dari mereka ada yang terpaksa duduk di atas lantai karena sudah tidak ada ruang kosong yang dapat menampungnya, kecuali meja yang ditempati Cakra.
Situasi itu membuat Cakra merasa bersalah, sehingga ia memutuksan untuk membatalkan rencana makan siangnya. Namun, baru beberapa langkah kakinya berjalan, Steven tiba-tiba muncul.
Ini adalah saat yang sangat tepat!
Ingatannya memaksa Cakra untuk melihat kembali peristiwa yang akan membawanya menjadi Tuan Muda SMA Budi Pekerti. Malam sebelumnya, berkat bantuan Pak Adipramana, ia dapat memasang CCTV pribadi di penjuru sekolah, tentu hal itu tidak diketahui oleh pihak sekolah, hanya beberapa karyawan yang ditunjuk langsung oleh Dewan Sekretaris perusahaan Pak Adipramana serta satu karyawan yang bertugas memantau CCTV di ruang kontrol.
Awalnya, karyawan itu kaget ada orang yayasan datang tanpa pemberitahuan, namun setelah dijelaskan ia lebih terkejut lagi, karena selama ini ia pikir Steven adalah anak dari pemilik yayasan dan juga sekolah tempat ia bekerja, ternyata tidak lebih dari anak seorang karyawan seperti dirinya.
Mereka membantu Cakra untuk menempatkan benda pengintai berteknologi tinggi tersebut di seluruh sudut, termasuk kamar kecil, tempat yang biasa dipakai Steven serta kelompoknya untuk berpesta asap nikotin.
Setelah sebelumnya di kelas, Cakra dilempari potongan kertas kecil dari penjuru arah, kini ia terjerambab di lantai, seluruh makanan yang berada di atas baki seketika tumpah berceceran, sebagian mengenai dirinya, sebagian lagi mendarat tidak keruan di lantai. Seluruh pasang mata terpaksa tertawa lepas setelah Steven memprovaksi dengan nada mengancam, tertawa terbahak-bahak.
"Jalan yang bener! Jangan ngalangin gue! Tau diri lu! Ini sekolah punya gue!" ucap Steven memandang Cakra yang terbaring di bawahnya, ia harus menunduk agar matanya dapat melihat raut muka Cakra, berharap Cakra akan tampak mengenaskan setelah ia berhasil menyilangkan kaki kirinya ke langkah Cakra.
Sehingga, dengan sukses Cakra terjatuh saat ia ingin kembali ke tempat pengambilan makanan. Untung dengan sigap Cakra dapat menahan tubuhnya, sehingga wajahnya dapat diselamatkan. Cakra bangkit dengan tatapan jenaka, ia tak menyangka rencananya terwujud secepat itu.
"Jadi cuman begini doang kemampuan lu? Kecewa gue!" ucap Cakra berusaha memancing emosi Steven, lalu berlalu pelan meninggalkan Steven. Akan tetapi, langkahnya terhenti setelah tangan kanan Steven berhasil meraih bahu Cakra, kemudian menahannya.
Terpaksa Cakra berhenti, lalu memutar tubuhnya, menghadap Steven yang menatapnya jemu.
"Apa lu bilang? Minta dihajar lu? Nggak liat di sini nggak ada guru? Kalopun ada mereka juga bakalan belain gue! Elu cuman anak panti gak jelas yang tiba-tiba masuk sekolah gue tanpa tes, tanpa prestasi, cuman modal undangan, mau jadi sok jagoan?!" Cakra tak mengindahkan ucapan Steven, ia menepis tangan Steven dibahunya dengan keras dan mulai kembali melangkah.
"Anjiing....!" satu pukulan dari Steven berhasil mendarat pada pipi Cakra, wajahnya sempat bergerak pelan ke arah kanan, pukulan Steven sungguh lemah, ia tidak merasakan sakit yang berarti. Cakra kecewa ternyata Steven hanyalah seorang pecundang yang tidak mengerti bela diri.
"Duh!" ucap Cakra sambil menarik bibirnya, ia tersenyum puas, kini permainan sudah dimulai.
"Kenapa? Sakit? Mulai sekarang elu harus...." ucapan Steven terhenti begitu Cakra melayangkan serangan balik, ia balas memukul dengan cara yang sama, yang ia dapatkan dari Steven.
Namun, dengan hasil yang jauh berbeda. Bukan hanya wajah Steven yang bergerak melainkan seluruh tubuhnya, ia terjatuh ke lantai.
"Shit! Lemah banget lu! Pelan juga gue mukulnya!" ucap Cakra kecewa sedikit cemas.
Steven tak pernah merasa terhina seperti ini, ia berteriak meminta teman-temannya untuk menghajar Cakra, dan usahanya tidak membuahkan hasil, mereka semua sukses terlentang di lantai.
Suasana ruang makan sekolah Cakra gempar, ada yang berlarian, ada yang berseru menyoraki Cakra, ada yang tak dapat percaya bahwa perkelahian dapat terjadi di sekolah yang penuh dengan anak-anak kutu buku ini.
Sekali lagi, mereka tidak ingin mempermalukan diri, dengan sekuat tenaga Steven dan kelompoknya berusaha menghajar Cakra secara bersamaan, namun tiba-tiba aksi tersebut terhenti begitu suara seorang petugas sekolah berhasil melerai mereka.
Percaya diri Steven langsung muncul, ia yakin bahwa mulai detik ini, Cakra tak akan dapat menganggu hidupnya lagi, bahkan ia yakin keberadaan Cakra akan segera hilang dari sekolahnya.
"Apa-apan ini??!" bentak pria tua gemuk, muka bulatnya memerah menahan amarah.
"Ini Pak anak baru ini..."
"Ikut saya ke kantor kepala sekolah!" sekali lagi bentakan keluar dari mulut lebarnya. Mereka semua terpaksa melangkah menuju kantor, namun tidak dengan Steven, dengan langkah percaya diri dan perasaan senang ia menuju kantor, sedangkan Cakra, ia memaksa dirinya untuk menahan geli.
Kini Cakra dan lima remaja lainnya sedang duduk berhadap-hadapan di atas sofa ruangan kantor kepala sekolah SMA Berbudi Pekerti. Kantor itu tak begitu luas, mungkin sekitar lima kali tujuh meter persegi.
Cakra tersenyum geli melihat Steven dan teman-temannya duduk berdesakan di atas sofa yang hanya dapat menampung empat orang saja. Sedangkan dengan ukuran yang sama ia duduk sendiri lega.
"Aneh kenapa sering sekali CCTV mati ya? Apalagi di saat-saat seperti ini!" gumam kepala sekolah dengan volume suara kecil, namun masih dapat didengar oleh mereka. Steven tersenyum, sepertinya sudah ia rencanakan untuk hari ini.
Kepala sekolah beranjak dari meja kerjanya setelah mendapat laporan dari ruang kontrol bahwa CCTV pada saat kejadian sedang mengalami perbaikan, ia tidak curiga sama sekali kenapa setiap ada kejadian heboh di sekolahnya, benda pengamat itu selalu bermasalah.
"Jadi... Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya begitu tubuhnya ia sandarkan pada sofa kecil yang berada di tengah-sedikit berjarak ke belakang-mereka.
"Kamu anak baru kan? Kenapa bisa ada kejadian seperti ini?"
"Dia tiba-tiba dorong kaki saya Pak sampai saya jatuh! Bukanya minta maaf malah ngejek saya, saya sudah mau pergi malah di pukulin Pak, ya saya melawan, self-defense Pak! Enggak bisa dihukum, bahkan oleh pengadilan sekali pun!" terang Cakra tenang sambil menunjuk Steven, tatapan mereka bertemu, tersirat rasa kebencian dari pandangan Steven, sedangkan Cakra menatap Steven cuek.
"Enggak Pak, saya nggak mungkin kaya gitu, Pak Andi tahu kan kalau saya nggak berani buat seperti itu!" bela Steven menggebu-gebu.
"Kalian gimana? Apa yang kalian lihat?" tanya Pak Andi pada kelompok Steven.
"Iya Pak dia duluan yang memulai, tadi Steven gak sengaja dorong dia, tapi dia nggak terima pas Steven minta maaf, malah dia langsung mukulin Steven, kita nggak terima temen kita digituin makanya kita pisahin, eh malah dia mukulin kita juga Pak, jadi ya kita mukul balik, self-defense Pak!" ejek Victor menekankan kata self-defense, dan diikuti cekikan lembut dari Steven dan lainnya.
Tiba-tiba terdengar ketukan dari arah luar pintu ruangan kepala sekolah. Pak Andi menyuruh orang yang mengutuk pintu untuk masuk, setelah pintu ruangan terbuka, muncul sesosok pria tua tertubuh besar tadi, yang membawa mereka ke ruang kepala sekolah.
"Pak! Nggak ada yang melihat jelas kejadian barusan, semuanya bilang kalo mereka tiba-tiba udah berantem aja Pak, terus CCTV bener-bener nggak bisa diharapakan Pak!" jelas pria tersebut, enggan melangkahkan kaki lebih ke dalam ruangan kepala sekolah. Ia berdiri tak jauh dari pintu masuk.
"Ok kalau begitu, terima kasih!"
"Iya pak!" ucap pria tua bertubuh besar sambil melangkah mundur dan menutup kembali pintu ruangan sekolah. Pak Andi kembali menatap mereka sambil menawarkan solusi agar permasalahan ini tidak berlarut-larut.
"Enggak bisa Pak!" Cakra yang awalnya ingin membantah namun sudah disela oleh Steven, ia cukup kaget dengan sifat remaja terebut, sungguh egois.
"Dia salah Pak, harusnya dikeluarkan karena sudah menganggu ketertiban sekolah!" Cakra seketika tertawa, ia tak dapat lagi menahawan kemunafikan Steven.
"Nak Cakra? Kenapa ketawa?"
"Nggak kenapa-napa Pak! Silakan lanjutkan!" ejek Cakra kepada Steven.
"Saya udah telpon Bapak saya Pak! Kalau Pak Andi nggak mau ngeluarin dia, biar Bapak saya yang mengeluarkan dia langsung! Atau sekalian saya minta Bapak saya untuk mengeluarkan Pak Andi? Karena kerja Pak Andi yang nggak becus?" ancam Steven sedikit membuat wajah Pak Andi getir.
"Kenapa setiap ada masalah kecil kamu selalu bawa-bawa Bapak kamu Steven?" ucap Pak Andi pelan, tersirat rasa cemas dan kawatir.
"APANYA YANG KECIL PAK! Ini badan saya babak belur karena dia!" Pak Andi yang sedari tadi tidak terlalu peduli dengan kasus Steven kini mau tak mau harus menaruh perhatian penuh pada mereka.
Bentuk Steven tidak keruan, wajahnya penuh kebiruan, walaupun tidak ada satu darah pun yang keluar dari kulitnya, tapi tak dapat menampik bahwa pedih yang meneror pada sekitar lebam di wajah Steven, cukup membuatnya sesekali mendesis, belum lagi noda kotor jiplakan sepatu Cakra tertempel di seragamnya yang putih menambah kesan awut-awutan padanya.
Begitu pula penampakan teman-temannya, tak lebih semrawut dari keadaan Steven. Sedangkan Cakra, masih terlihat utuh sebagaimana ia bangkit setelah Steven berhasil membuatnya tejerambab, masih terlihat noda-noda makanan yang merekat pada seragam putihnya, walau beberapa sudah tampak memudar.
Tak lebih dari itu! Tak terlihat adanya lembam biru apalagi cairan merah pekat yang mengandung banyak sel serta plasma yang keluar dari organ peraba Cakra.
"Nak Cakra sepertinya Nak Cakra sedikit kelewatan, saya minta Nak Cakra meminta maaf kepada Steven, karena dari yang Bapak lihat, sepertinya apa yang diucapkan Steven lebih dapat diterima!" Cakra paham apa yang dimaksud Pak Andi, sedangkan Steven langsung tersenyum puas.
"Tapi Pak, kalau saya terbukti tidak bersalah bagaimana Pak?"
"Ya kalau kamu terbukti tidak bersalah, berarti apa yang dibilang Nak Steven itu tidak benar, terserah kamu, mau memaafkan atau lewat jalur lain!" ucap Pak Andi lebih condong mendukung Cakra dibanding Steven.
Karena sebenarnya ia pun tahu bahwa ini adalah ulah Steven, namun karena tidak ada bukti, maka selama ini, sebisa mungkin ia mencoba menyelamatkan korban-korban Steven, biasanya berhasil namun yang terparah adalah kejadian beberapa bulan lalu, terpaksa untuk pertama kalinya sekolah mengeluarkan seorang murid berpertasi tak mampu karena ulah Steven.
"Maksudnya apa Pak? Jelas-jelas dia yang salah kok!" ucap Steven masih berusaha menyudutkan Cakra.
"Ok Pak! Saya ada bukti... dan buktinya...." belum sempat kalimat yang terucap dari mulut Cakra selesai, sontak pintu ruangan kepala sekolah terbuka paksa.
Seketika mereka semua menatap sumber kagaduhan, terlihat pria paruh baya medekati umur lima puluh tahun melangkahkan kaki menghampiri mereka. Pria itu bertubuh sedikit besar dengan perut buncit, rambut hitam yang mendominasi tak dapat menyembunyikan beberapa helai uban.
Ia menghentikan langkahnya begitu menatap Steven kaget, ia tak pernah mendapati Steven -anaknya- dalam keadaan acak-acakan seperti itu. Setelah itu, pandangannya menyapu seluruh yang hadir di situ dan berhenti pada Cakra.
Cakra langsung mengetahui bahwa pria tua itu adalah Pak Handoko. Dengan penuh emosi ia kembali melangkah menuju Cakra. Sesampainya di tempat Cakra duduk, ia menarik Cakra agar Cakra berdiri dihadapanya.
"Pak... sabar Pak... ini hanya!" Pak Andi berusaha meredam amarah Pak Handoko, namun upayanya tak menuaikan hasil. Pak Handoko berhasil menampar pipi Cakra dengan keras.
Steven terenyum puas seakan dendamnya terbalaskan. Cakra menoleh pada pria tua itu dengan tatapan benci. Pak Andi berusaha meraih tubuh Pak Handoko dan mengajaknya duduk untuk menangkan diri.
Keadaan di ruangan itu membuat Cakra tidak lagi menahan sabar.
0 Comments