The Chronicles of Porkah Chapter 1 - Hanyut


Kematian adalah fase akhir dari semua mahluk hidup di bumi ini sebagai bagian dari perputaran alamiah setelah kelahiran sehingga, menjadikan yang hidup pasti mati. Tak seperti tumbuhan ataupun hewan yang tidak memiliki akal pikiran dan emosi, ketika berhubungan mengenai kematian manusia lebih banyak enggan membahasnya.

Mungkin karena belum ada yang pernah menceritakan pengalaman mengenai kematian sehingga manusia cenderung takut mati. Atau karena proses kematian itu sendiri yang sering terlihat menyakitkan bahkan kadang mengenaskan. 

Tapi apapun yang terjadi, semua yang hidup pasti mati. 

Dan tidak ada yang siap menghadapi kematian kecuali, mungkin tumbuhan, mungkin juga hewan. Atau justru mereka juga tidak siap? 

Melainkan keterbatasan manusia yang tak menyadari. 

Akan tetapi  yang pasti tidak ada manusia yang siap mati. 

Termasuk remaja laki – laki bernama Cakra Abiyoga yang sedang ketakukan menghadapi kematiannya yang mungkin akan menjemputnya beberapa detik lagi. 

Ia sungguh belum siap. 

Serta ketakutan. 

Tapi yang lebih ia takuti adalah apa yang akan terjadi setelah kematian meraihnya, ia teringat teori ketuhanan yang menyatakan bahwa setelah kematian ada kehidupan kekal. 

Yang jadi masalah adalah, kehidupan kekal itu bercabang dua. Kanan menuju yang mereka sebut surga, sedangkan kiri yang mereka sebut neraka. Dan sepertinya Cakra tahu kemana ia akan melangkah. 

Penglihatan akan neraka seakan mengejeknya, samar ia melihat seorang menggunakan jubah hitam berikut sabit panjang yang ia topang sedang melambaikan tangan kearahnya sambil menjulurkan lidah. Ditambah bayangan tersebut bertanduk layaknya rusa namun bedanya tanduk itu menyala seperti api. 

 Cakra memasuki tahap menerima kematian yang akan ia hadapi, bahkan ia tak akan menolak bila neraka merupakan singgasana abadinya, bukan tanpa alasan mengapa ia begitu yakin bahwa neraka yang akan menerimanya sebagai anggota baru. 

Saat Cakra berusaha mencoba melawan ganasnya ombak yang akan membawanya pada kematian, seluruh kenakalan remaja yang ia buat menerornya seakan minta pertanggung jawaban. Setiap tarikan napas yang berhasil ia lakukan terpampang jelas perbuatan yang pernah ia lakukan kepada manusia seusianya yang mereka sebut dengan teman sekolah, bahkan bukan itu saja. 

Orang dewasa pun tidak luput akan kenakalannya. 

Ia menyesal atas semua tindakannya tersebut.

Ia menyesal telah memiliki samsak selama ia sekolah di SMA Berbudi Pekerti milik orang-tuanya.  Samsak itu bahkan mempunyai nama dan duduk di kelas yang sama untuk mendapatkan pengetahuan yang sama. 

Tapi karena Cakra adalah Tuan Muda yang harus selalu dilayani, maka ia meminta Dito untuk menjadi samsaknya tanpa menuntut, menolak, apalagi melapor kepada pihak berwajib. Tentu Dito menerimanya karena ancaman beasiswanya yang bisa saja dicabut saat anak 'nakal' ini mengucapkan mantra-mantra ajaibnya. 

Tentu saja nama-nama samsak yang dimiliki Cakra selama ia hidup tidak hanya Dito, ada juga Jonny, Adit, Beni, Farid, Dariel, Victor, Tommy, dan beberapa nama laki – laki lainnya. Dan mereka merangkap sebagai asisten pribadinya, terutama saat ia sedang malas melakukan apapun.

Ia menyesal telah mengunci dari luar saat  Pak Andi guru Matematika merangkap  kepala sekolahnya yang sedang menikmati buang hajat  tanpa diketahui beberapa menit kemudian petasan menggelegar seolah memeriahkan agendanya.

Ia menyesal telah memperlakukan dengan sangat indah pada awal perkenalannya dengan Michelle, Devi, Sveta, Alina, Bianca, Samantha, Retno, Indah, Dian, Bulan, Inem, dan juga tak tertinggal Ningsih, Sariyem, Suratmi serta Wati. Dan membuat mereka jatuh cinta serta tergila – gila padanya. Namun begitu mereka rela manjadi budak cintanya ia langsung mencampakkan mereka. 

Ia juga menyesal telah menjadi biang kerok pertempuran pelajar yang sering terjadi antara sekolahnya dan sekolah lain.

Ia juga menyesal sering menjahili teman – temannya, salah satunya, ia pernah meminta Tommy untuk mengutil di salah satu pusat perbelanjaan, namun saat Tommy berhasil keluar dengan barang curian, bak pahlawan Cakra datang dan memberi tahu salah satu petugas toko bahwa Tommy telah melakukan pencurian. 

Sungguh ia menyesali semua itu.

Menjadi siswa yang serba paling di sekolah membuatnya layak menjadi anak yang sombong, angkuh, seenaknya sendiri, congkak, egois dan sifa-sifat jelek lainnya. Bukan tanpa alasan kenapa Cakra disematkan sebagai anak 'nakal'. 

Karena banyak faktor mungkin yang menjadi alasan utama. 

Mungkin karena ia dibesarkan serba kecukupan. Contohnya saat ia mempunyai dana cukup untuk mentraktir teman-temannya keliling Eropa selama sebulan dengan penerbangan kelas satu ditambah menginap di hotel-hotel bintang lima sebagai hadiah persahabatan mereka. 

Ia pun selalu bercukupan untuk membeli barang-barang yang ia inginkan, bahkan salah satu mobil yang ia parkirkan di halaman sekolah di atas lahan bertuliskan 'Tuan Cakra' merupakan mobil keluaran General Motors perusahaan otomotif yang memproduksi mobil – mobil yang jarang berlalu-lalang di jalan raya Ibukota. 

Mungkin juga karena ia anak yang cerdas, bahkan jenius. 

Tidak sedikit medali emas dari lomba olimpiade tingkat nasional dan internasional ia dapatkan. Walaupun medali itu hanya mampir semenit di tangannya, setelah itu entah kemana riwayatnya. 

Pernah Bi Chleo kepala asisten rumah tangga di rumahnya jadikan salah satu medali emas olimpiade fisika tingkat internasional milik Cakra sebagai penumpu meja di kamar pribadinya. 

Seingat Cakra, sewaktu ia berumur sepuluh tahun ia pernah membuat satu alat canggih namun alat itu hilang entah kemana. Orang – orang yang mengenal Cakra saat balita pun tercengang akan kecerdasan Cakra. Karena kepintarannya tersebut ia dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Massachusetts Institute of Technology. 

Mungkin juga karena ia bertalenta, tidak sedikit ia mendapatkan piala dalam bidang olahraga seperti taekwondo, karate, tinju, anggar, dan juga menunggang kuda. Tidak jarang juga  ansambel musik besutannya bernama Evil's Smile menyabet juara satu pada setiap festival musik tingkat sekolah menengah hingga umum, dari sana juga banyak produser dan label rekaman ingin menekan kontrak dengannya, namun selalu ia tolak tegas. 

"Tanya mereka aja pak! Kalo mereka mau, ambil aja mereka, gue ga tertarik!" dan tentu saja, mereka hanya menginginkan Cakra semata, karena tanpa Cakra grup band itu hanyalah sekelompok anak remaja yang bermain musik sebagai kegemaran dengan cara yang seadanya saja. 

Karena bintang utamanya Cakra, selain ia sebagai vokalis, iapun merangkap gitarist, dan sesekali mengganti peran menjadi drummer, bassist, dan keyboardist. 

Mungkin juga karena ia terlahir dengan fisik yang menurut para ahli estetika sempurna, wajah oval dengan rahang tajam dan dagu sedikit terbelah. Hidung tidak terlalu panjang dan tinggi namun lurus bertengger di antara mata yang juga berbentuk oval tidak terlalu besar namun simetris. 

Belum lagi bibir sedang yang belum berubah gelap akibat rokok yang selalu ia hisap, serta alis tebal lurus seakan menjadi menjadi payung untuk matanya. 

Ditambah tinggi badannya yang menjulang serta terbentuk sempurna dengan otot dada bidang, perut datar layaknya talenan serta biceps dan triceps yang tidak terlalu besar namun berotot terlapisi kulit kuning kecoklatan khas rumpun Asia Tenggara.

Ia terlalu tampan! 

Bahkan banyak pria mengakui bahwa ia salah satu manusia yang tertampan di Bumi ini. 

Siapa yang tidak akan terlena dengan kesempurnaan tersebut?

Brug!

Gerakan air laut yang bergulung-gulung baru saja menghantamkan tubuh Cakra ke terumbu tajam, lengan kiri Cakra yang penuh otot seketika koyak menumpahkan darah yang langsung bercampur dengan buih – buih putih. Cakra masih berusaha untuk sadar dan semampunya melawan gelombang air laut pantai selatan Jawa, menendang-nendang tanpa memedulikan kakinya yang tersobek terkena karang. 

Di sisa-sisa nyawanya, ia berharap ini semua hanyalah mimpi, ia berharap sebenarnya saat ini ia sedang terlelap pulas di kamar tidurnya yang tidak jauh berbeda dengan presidential suite room  yang dimiliki hotel-hotel mewah. 

Ia berharap saat ini orang-tuanya datang ke kamarnya dan membangunkannya. Namun harapan itu hanyalah setitik asa yang semu. 

Dan sekali lagi bayangan itu melambaikan tangan kepadanya. 

Pintu nereka segera terbuka untuknya. 

Ia melihat cahaya terang menyilaukan, seperti lampu sorot yang sering ia dapati ketika berada di atas panggung namun terangnya tiga, bukan! lima kali lipat dari itu. 

Apakah itu pintu neraka? 

Kalaupun memang pintu neraka mengapa warnanya putih cerah, bukan merah membara?

Lalu cahaya putih apa itu?

Surga kah? 

Ada secercah harapan bahwa ia mungkin tidak akan singgah ke tempat penuh api itu.

Sesaat ia mengingat bahwa selama ini ia tidak hanya melakukan hal-hal yang buruk, kenyataannya asisten pribadi merangkap samsak seperti Dito, Jonny, Adit, Beni, Farid, Dariel, Victor, dan Tommy adalah teman-teman Cakra bahkan bisa dibilang mereka bersahabat. 

Itu hanyalah istilah mereka memanggil diri mereka sebagai asisten pribadi Cakra, karena itu merupakan bentuk terima kasih mereka kepada orang-tua Cakra yang telah membuatkan sekolah untuk anak-anak dari keluarga tak mampu seperti mereka. Istilah samsak pun karena mereka selalu yang sering kena pukul saat berlatih seni beladiri bersama. 

Yang ia lakukan terhadap Pak Andi juga bukan hal yang keterlaluan menurutnya, justru itu salah satu bentuk rasa sayang Cakra kepada Pak Andi dengan menjahilinya tepat di hari ulang tahun kepala sekolah tersebut. Cakra beserta teman-temannya memang ingin menjahili Pak Andi, setelah itu mereka akan memberikan hadiah dan kejutan yang sangat diinginkan Pak Andi. Karena sedekat itulah mereka dengannya.

Ia mengakui telah membuat banyak perempuan tunduk dan menjadi budak cintanya, sehingga mereka akan melakukan apapun untuk memilikinya, bahkan rela memberikan harta berharga mereka. Cakra tak menginginkan itu, ia tetap menghargai kesucian wanita. Tapi para mahluk keturunan Hawa ingin menjadikan Cakra milik mereka sepenuhnya, dengan begitu seperkian persen saham Monument Group, salah satu perusahaan multi usaha tebesar di Indonesia bahkan dunia dapat menjadi milik mereka. 

Demi menjaga kehormatan sekolah beserta teman-teman di dalamnya, Cakra sering menghajar terlebih dahulu siswa dari sekolah lain yang mencari gara-gara kepada teman sekolahnya, jadi tidak heran jika ada salah satu temannya yang diperlakukan dengan tidak baik oleh salah satu murid sekolah tetangga, maka sekolah itu besoknya akan dilempari Cakra batu. 

Maka perkelehian antar sekolah tidak dapat terhindarkan.

Dan soal Tommy itu hanyalah kenakalan remaja lainnya yang ia lakukan dengan teman-temannya, prank begitulah istilahnya. Saat itu memang sedang digandrungi oleh remaja seusianya, sehingga mereka ingin melakukannya dan terpilihlah Tommy yang menjadi pelaku pengutilan tersebut. 

Ia sadar bahwa dirinya tidak seburuk itu.

Namun bayangan hitam itu semakin terlihat jelas, kini ia sudah tidak menopang sabit, melaikan mengayunkannya seperti jagal yang sedang bersedia. 

Padahal Cakra sempat yakin bahwa malaikat yang akan membawanya ke surga akan berpenampilan seperti malaikat – malaikat yang sering ia lihat di karya seni. Nampaknya nalurinya salah, ia mengingat kembali apakah ada alasan sehingga ia harus menjalani kematiannya di neraka. 

Tiba-tiba kejadian beberapa detik lalu, yang mengakibatkan ini semua terjadi, yang mengakibatkan teman-temannya mungkin akan menemuinya di kematian, yang membuat mereka terombang-ambing di dalam laut terhempaskan oleh gelombang besar.

Dan ia semakin menyesal, sikap sombonglah yang mengantarkannya ke neraka. Sikap angkuhlah yang mengakibatkan teman-temannya mengalami kejadian nahas. Serta ide konyol yang ia tawarkanlah yang kini membuat dirinya terpaksa menelan banyak air asinnya laut. Ia menyesal telah mengajak teman-temannya untuk mencemooh dan menantang penguasa laut selatan. 

Kanjeng Ratu Kidul

"Lo percaya gak kalo Nyi Roro kidul itu beneran ada?" tanya Cakra kepada Tommy, Dito, Beni dan Victor saat mereka sedang duduk santai di atas bangku malas depan kamar termewah Queen of the South Resort Yogyakarta. 

Kamar itu menghadap langsung ke kolam renang yang dilengkapi dengan 3 bangku malas yang dua di antaranya terduduki oleh mereka, bangku paling besar dapat menampung hingga lima orang membentuk bulan sabit dengan busa empuk berwana biru tua di atasnya yang diduki oleh Victor, Dito, Tommy dan Beni. 

Sedangkan yang berukuran sedang layaknya kursi malas yang sering dijumpai di kolam renang pada umumnya dengan busa empuk berwarna senada di atasnya diduki oleh Cakra sambil memainkan gitar. 

Dan yang kecil bentuknya bundar tanpa busa hanya terdapat asbak dengan puluhan putung rokok yang berceceran hingga ke lantai. 

Mereka sudah berada di sana sejak matahari menenggelamkan dirinya di ufuk barat Pantai Parangtritis, karena memang kamar dan kolam renang itu langsung menghadap Pantai Parangtritis dari ketinggian. 

Mereka mendapatkan titik terbaik untuk menikmati sunset. 

Walau matahari telah hilang tiga jam lalu dan mengubah langit menjadi kelabu mereka belum beranjak juga. Mereka ingin momen kebersamaan mereka tidak terbuang sedetikpun. 

Karena malam ini merupakan hari terakhir bagi mereka di Jogja dalam rangka farewell trip sebelum akhirnya Cakra harus terbang ke Negri Paman Sam untuk melanjutkan pendidikannya dan mendapatkan gelar Bachelor of Science in Electrical Science and Engineering, karena memang ia bercita-cita menjadi penemu teknologi. 

Sedari kecil ia sudah jatuh cinta dengan fisika, ia selalu dihantui rasa penasaran dengan cara kerja perangkat elektronik yang ada di sekitarnya, jadi tidak heran ia langganan menjadi peserta olimpiade fisika dan kerap kali meraih medali emas. Dan juga sering kali elektronik di rumah menjadi korban eksperimennya. 

Mereka sebisa mungkin menikmati hari-hari terakhir, karena mungkin mereka tidak akan pernah bertemu lagi untuk waktu yang lama. 

Dan sepertinya hal itu akan terjadi.

"Gila lo! Kita lagi di parangtritis bego!" tegur Beni merinding. 

"Hahaha... cemen lo! Eh ke bawah yuk! Gue mo nantangin Nyi Roro Kidul nih!" Cakra bergerak semangat, gitar yang sedari tadi menopang lengannya ia baringkan di kursi malas tempatnya duduk. 

Ia beranjak dan berlari ke dalam kamar yang terletak di belakang tempat mereka menongkrong. 

"Lo mo ngapaen?" tanya Beni pandangannya mengikuti Cakra yang sudah berada di dalam kamar. 

Tak lama Cakra keluar dengan mengenakan kaos berwarna hijau terang.

"Tereeeng...." pamernya bangga, ia mendapatkan reaksi yang diinginkan dari teman-temannya. 

Semuanya bergidik ngeri. 

"Nggak... nggak ikut-ikutan dah gua!" layaknya peserta uji nyali, Beni melambaikan tangannya. Mereka tahu sifat anak satu ini. Ia penakut, pernah ia jatuh pingsan saat Cakra menjahilinya berpura-pura menjadi kuntilanak.

"Hahaha... badan doang gede, nyali kecil!" cemooh Dito sambil menoyor Beni yang sedari dari duduk samping kirinya paling pojok, tangannya sempat terbang depan wajah Tommy.

"Tau lu! Cemen ah... yuk gas...!" ikut Victor beranjak dan menghampiri Beni yang duduk hampir berhadapan dengannya. 

"Bantuin gue tarik dia!" ajak Cakra semangat. 

Dan kini mereka berlima menelusuri anak tangga yang membawa mereka menuju tepian pantai.

"Woooy Nyi Roro Kidul... sini lo keluar!" teriak Cakra begitu kakinya menyentuh ombak.

"Gila lu! Kra! Beneran dateng tau rasa lu!" tak henti-hentinya Beni menegur Cakra agar bersikap sopan yang diikuti gelak tawa oleh semua temannya. 

Hingga akhirnya dari belakang Victor, Dito dan Tommy mengangkat tubuh Beni, Cakra yang melihat langsung tangkas membantu mereka, dan mereka kini tengah mengayunkan Beni dan melemparnya ke pinggir pantai hingga ia tersiram ombak lalu menyaksikan Beni tertelan ombak dengan penuh tawa. Beni langsung berdiri dan mengejar mereka hingga akhirnya mereka semua basah bermandikan air laut. 

"Bakalan kangen gue saat – saat kaya gini...." bisik Tommy disela hela napasnya yang tak beraturan. 

"Duuh udah ah... kita kan mo fun bukan galau-galauan!" bantah Cakra sambil beranjak dan melangkah lebih jauh ke dalam lautan.

"Eh Kra... bahaya bego!" ingat Dito ikut beranjak menghampiri Cakra

"Tau nih anak, songong banget! Kagak sayang nyawa lu?" Victor ikut-ikutan cemas, sedangkan Beni dan Tommy hanya memerhatikan mereka dari kejauhan.

"Eh kalo gue nantangin Nyi Roro Kidul dari sini mungkin dia bakalan dateng kali ya, masa gue dah pake baju ijo gini nggak nongol-nongol si dia?" 

"Hahaha... takut kali ama lu, lu kan PK" ejek Victor berusaha menghampiri Cakra dengan melawan arus ombak yang menghantam pahanya.

"Eh kita bertiga tereak yuk, ngatain Nyi Roro Kidul" tantang Cakra lebih berani.

"Gile... boleh tuh ide lu hahahaha" disambut tawa oleh Dito yang sudah berada di belakang sebelah kiri Cakra, mereka berjarak tiga meter.

"Tu... Dua.. Tiga... ANJING LU NYAI, KAYA PEREK LU!!" ternyata hanya Cakra yang memaki sang penguasa dengan lantang, sedangkan Dito dan Victor hanya terkekeh, dan terdengar tawa keras dari Tommy dan Beni. 

"Fuck lu bedua!" umpat Cakra karena dihianati, dan menjitaki mereka, Dito dan Victor langsung membalas, Cakra lari menjauh dari mereka  tanpa menyadari ombak besar  menghampiri mereka.

Bruug!

 Ombak tersebut berhasil menghantam mereka saat Cakra berhasil kabur dari jangkauan Victor. 

Ombak menarik mereka jauh ke dalam samudra, memerangkap mereka ke dalam lubang karang, menyesakkan dada mereka, kemudian menghantam tubuh mereka ke terumbu. 

Teriakan Beni dan Tommy meminta tolong dan meneriaki mereka sama sekali tidak dapat mereka dengar. Mereka sedang berjuang untuk menyelamatkan diri, terlihat Victor berusaha berenang ketepian, dan Dito sempat terlihat saat ombak kembali menghantam pantai.  

Sesaat Cakra sempat melihat Victor dalam sapuan ombak, namun tak dapat ia jangkau, sedangkan Dito sedari awal ia tak tahu kemana gelombang besar membawanya. Tanpa ia sadari ia terbawa lebih dalam ke tengah samudera, sedangkan Dito berhasil diselamatkan oleh Tommy, Beni dan beberapa warga, karena saat dihantam ombak, ia berada lebih dekat dari pantai dibanding Victor maupun Cakra. 

Dan beberapa menit kemudian Victor hadir dari dalam ombak dan berhasil diselamatkan. Sedangkan Cakra masuk lebih dalam ke dalam samudra, tersangkut karang yang menahannya seakan tak ingin ia pergi. 

Dan bayangan hitam itu mulai memudar seiring habisnya napas Cakra. 

Cakra ikhlas jika ia harus pergi sekarang juga. 

Ia menyerah.

Namun sesaat ia  merasa sangat lemas dan ingin menutup mata selama-lamanya, tiba-tiba ia merasakan perubahan pada tubuhnya, seakan udara yang masuk ke dalam rongga hidungya, tanpa sadar ia mencoba menarik napas dan ia dikejutkan karena ia benar dapat bernapas. 

Tubuhnya yang semula merasa berat karena tersert arus, kini mulai ringan dan sedikit mampu dikendalikan, namun tiba-tiba arus besar kembali melibas Cakra dan sekali lagi tubuhnya terhantam karang, namun kali ini tidak ada bagian tubuhnya yang tergores ataupun terluka, justru karang itu seketika pecah seperti dihancurkan oleh palu raksasa. 

Cakra berusaha menelaah apa yang terjadi namun tubuhnya kembali lemas, sekali lagi kibaran ombak menghajarnya ke karang dan kembali karang pecah. 

Dan Cakra semakin lemas, cahaya putih itu semakin mendekatinya, ia pikir ini sudah waktunya untuk ia pergi. 

Dan ia melihat cahaya putih sebenarnya cahaya yang keluar dari mata ikan pari yang berenang mendekatinya, dari bagian kiri badan di bawah sirip ikan pari tersebut juga mengeluarkan sedikit cahaya yang semakin terang seperti pintu yang terbuka. 

Dan dari cahaya itu ia melihat tiga bayangan hitam keluar, bayangan itu lama-lama membesar dan berbentuk seperti orang, orang  itu bertanduk merah seperti api, orang itu membawa sabit panjang. 

Dan seketika Cakra tertidur lelap.

Mungkin untuk selamanya.

Mungkin juga tidak.



Post a Comment

0 Comments