Madyam Padham Chapter 2 - Satu Frekuensi?


"So? Kalo boleh tau waktu itu di pengadilan ngapaen?" lanjut Arya sambil melirik angka yang tertera pada alat di pojok kanan atas mesin cuci yang terisi pakaiannya. Angka berubah menjadi 5. 

"Urusan pekerjaan," timpal Sekar sekenanya 

"Kamu pengacara? Jaksa? Hakim?" serang Arya yang kini pandangannya lurus menatap Sekar, yang punya wajah masih duduk dengan tatapan lurus ke depan. Enggan berbasa-basi. 

"Cocok sih! Cocok jadi hakim," lanjut Arya setelah keheningan menyelimuti mereka. 

"Maksudnya?" kali ini Arya berhasil membuat Sekar berkutik. Walaupun masih tidak menolehkan pandangannya ke arah Arya. 

"Kamu cocoknya jadi hakim, dari pengamatanku selama kita ngobrol, aku rasa kamu orang yang cukup idealis, analitis, adil juga dan mau dikritk serta mau mengakui!" 

"Itu pujian ato sindiran?" tanya Sekar tak suka dengan penilaian Arya mengenai dirinya. 

"Pujian dong, harus begitu jadi ahli hukum, biar gak bisa disuap, dan gak bias juga!"  

"Hahaha... dan menurutku kamu orangnya judgemental! Dan itu sindiran!" tukasnya 

"Kamu emang seperti ini ya? Menganggap semua orang itu kriminal?" Arya menggeser badannya agar dapat lebih dekat dengan Sekar, wajah yang semula bersahabat kini mulai redup, pandangannya tak lagi hangat. 

"Seperti yang kamu bilang, aku analitis dan idealis. Dan yah... manusia itu kriminal, kalau tidak membunuh, ya dibunuh!" 

"Kamu benar juga, untuk bertahan hidup manusia harus membunuh mahluk lain, aku akui itu, tapi bukan manusia aja lho yang kriminal, hewan juga, bahkan beberapa tumbuhan juga membunuh. Ya dunia ini penuh dengan para pembunuh!" seakan mereka berada pada satu frekuensi Sekar yang semula tak mengacuhkan Arya kini menoleh padanya, alisnya yang semula ditarik kini terangkat, garis wajahnya yang semula skeptis berganti dengan pandangan takjub. Arya juga tak kalah menyiratkan atmosfer yang sama, seperkian detik mata mereka seperti magnet, saling tarik menarik. 

"Woow... baru kali ini ada yang sepemikiran!" puji Sekar tak percaya, ia yang bekerja sebagai reporter untuk program investigasi selalu menemukan kasus pembunuhan, pencurian, perampokan, pemerkosaan, penipuan dan kasus kriminal lainnya yang kalau ditelisik ternyata manusia itu rapuh dan kejam dalam satu waktu.  

Mereka dipenuhi dengan jiwa yang mudah tergoda, mudah menyerah, mudah terpuruk sehingga apapun akan mereka lakukan dengan dalih bertahan hidup. Sehingga itu memupuk sifkat skeptisnya terhadap hidup, dan apapun yang dilakukan oleh mahluk hidup hanya terdapat pada kepentingannya sendiri. 

"Oh ya? Kamu berpikiran seperti itu juga?" raut wajah Arya kembali bersahabat. Dan seketika ia tersenyum dan tertawa kecil. 

"Kok?" 

"Ekspresimu lucu banget! Kamu kalo lagi kaget gitu menggemaskan," goda Arya membuat Sekar terlena, rona merah pada pipinya tercetak jelas tanpa ia sadari.  

"Pipimu merah tuh!" tambah Arya dan berhasil membuat Sekar salah tingkah, dengan cepat ia berpaling dari wajah Arya.  

Sedangkan orang yang menggodanya hanya terkekeh senang, seolah berhasil memenangkan suatu kompetisi, dan begitulah menurut Arya, ia berhasil menjadi pemenang. Sepuluh detik berlalu setelah Sekar beralih pandang hingga tiba-tiba mereka dikagetkan oleh bunyi dari mesin cuci menandakan proses pencucian telah selesai. Sekar tiba-tiba beranjak menghindari tatapan Arya tanpa mengindahkan seruannya. 

"Kamu mau kemana? Dani...?"  

"Mo keringin bajuku! Udah kelar itu nyucinya!" kilah Sekar melangkah menuju mesin yang masih mengaduk pakaiannya.

"Itu bukan punyamu," ucap Arya seraya beranjak dan melangkah menuju mesin cuci yang sudah berhenti bekerja. Sedangkan sekar kembali duduk mencoba menahan rasa malu atas tingkahnya sendiri setelah melihat angka 11 tertera pada mesin cucinya . Pandangannya mengiktu Arya yang berjalan menuju tempat penyimpanan keranjang yang berada persis di sebelah mesin cuci yang digunakan Arya. 

Sekar mengamati pahatan tubuh Arya yang tidak banyak tertutup oleh kain. Arya hanya menggunakan kaos kuning gading tanpa lengan memamerkan otot lengan atasnya yang tidak kecil dan tidak besar dilapisi kulit kuning kecoklatan, tidak gelap tidak juga cerah, ia juga memerhatikan bawah tubuh Arya yang kini menopang badannya. 

Arya tengah jongkok sambil memindahkan beberapa helai pakaiannya ke dalam sebuah keranjang kosong biru. Tubuh bagian bawah Arya hanya terbalut hingga paha bagian atas oleh celana kain berbahan Jersey, membuat dirinya terlihat cuek namun seksi dalam waktu bersamaan, memamerkan otot paha dan kaki yang kencang namun tidak besar. 

Tubuh Arya proposional menjulang saat ia beranjak untuk memindahkan seluruh pakaiannya ke mesin pengering yang bertengger tepat di atas mesin untuk mencuci. Sekar memperhatikan seluruh rangkaian kegiatan Arya hingga ia selesai memindahkan seluruh pakainnya, lalu memutar untuk kembali ke tempat duduknya. Terlihat wajah Arya yang maskulin dengan kumis dan berewok rapi tipis yang melingkari mulut tebalnya, dan Sekar menyadari bahwa Arya menarik untuk diperhatikan. 

Arya mendapati diri Sekar memperhatikannya, hanya mengangguk kecil sedikit condong ke depan seolah meminta penjelasan apa yang salah dari dirinya. Namun tak dipedulikan oleh Sekar, ia hanya menatapnya datar, menorehkan teka-teki pada benak Arya. 

"Kenapa? Kok liatinnya gitu?" kalimat yang keluar dari mulut Arya begitu ia berada tak jauh dari Sekar.

"Ternyata benar yang dikatakan temanku!" timpal Sekar santai.

"Apa? Kalo manusia itu pada dasarnya pembunuh?" hanya dijawab dengan bibir moncong dan gelengan kepala ringan oleh Sekar.

"Lalu?"

"Kalo kamu itu cakep!" katanya datar.

"Balas dendam nih? Hahaha... gak mempan, gak bakalan salting aku!" ucapnya dengan senyum yang mengembang sambil menjatuhkan badannya di sebelah Sekar.

"Boleh kan?" 

"Silakan, toh ini bukan punyaku," Arya kemudian menyerongkan badannya menghadap Sekar, kemudian meletakkan tangan kirinya di atas sandaran bangku, dan menaik-turunkan kaki kanannya seperi penabuh drum, kemudian mulutnya mulai bergerak menghasilkan vokal rendah yang mengudara di telinga sekar. 

"Jadi apa pekerjaanmu sampai mengharuskan kamu berada di pengadilan?" 

"Kalau kamu sendiri?" tanya Sekar balik, ia masih memilih untuk tidak terbuka dengan orang asing yang baru saja dengan mudah berkenalan dengannya. 

Hal yang sangat tak biasa dilakukan olehnya, ia tidak begitu menyukai banyak manusia hadir dalam hidupnya. Sekar mempunyai cara pandang tersendiri mengenai kehidupan sosial, menurutnya manusia hanya akan berada di dekat manusia lain ketika kepentingan datang, setelah kepentingan itu usai, hilang sudah mereka dalam hidup manusia tersebut. 

Tidak salah jika ia berpikiran seperti itu, karena kepribadian, sifat, pola pikir dan keputusan-keputusan yang diambil seseorang berangkat dari bagaimana ia mencerna kehidupan. Bagi Sekar hidup terlalu naif bila menganggap orang yang selama ini berada di sekekelingnya akan selalu melekat padanya. 

Walapun dulu iapun mempercayai konsep tersebut, namun setelah kejadian kecelakaan bis yang membawa kedua orang-tua, serta adiknya untuk turut hadir dalam proses kelulusan Sekar meraih gelar sarjana mengalami kecelakaan dan menewaskan mereka, para kekasih yang akhirnya pergi meniggalkannya, teman-teman yang sudah menghilang satu persatu membuatnya skeptis akan hubungannya dengan manusia.

Ia benar-benar meyakini bahwa manusia adalah mahluk sosial dengan makna yang sesungguhnya, di mana manusia merupakan mahkuk yang berhubungan secara timba-balik dengan manusia lain. Dan begitulah manusia selama masih ada hubungan timbal-balik yang menguntungkan maka hubungan antar manusia tetap akan terjalin. 

Apun itu bentuk keuntungannya. Dan kali ini Sekar sedang menelaah apa keuntungan Arya bila ia dekat dengannya.

"Aku? Di pengadilan atau pekerjaanku apa?" timpal Arya yang tak ingin memaksa Sekar untuk menjawab pertanyaannya. 

"Dua-duanya... kalau mau jawab!" Arya tertawa ringan kemudian menimpali Sekar sambil tersenyum.

"Selain kamu idealis dan analitis ternyata kamu egois juga ya!" tanpa maksud menyinggung perasaan Sekar.

"That's me!" ungkap Sekar bangga.

"Well, aku di pengadilan karena habis ditilang..." Sekar menatapnya dengan pandangan mengejek. 

"Iya tau, aku salah karena nggak liat petunjuk jalan, trus maen muter balik aja. Dapet surat cinta deh dari polisi!" 

"Aku nggak ngejudge lho!" bela Sekar sambil mengangkat kedua tangannya seperti tahanan.

"Ekspresimu yang ngejudge!"

"Oke oke sorri... trus kerja dimana?"

"Aku punya usaha sendiri, gak gede sih, tapi lumayan lah!"

"Jadi kamu ngajakin aku kenalan buat promosi? Atau ngerekrut aku jadi karyawan?"

"Ketahuan ya?" ungkapnya sambil memasang wajah menyesal. Tanpa sadar Sekar tersenyum

"Naah gitu dong, senyum... jadi tambah lagi nih koleksi ekspresimu di otakku!" katanya sambil menggerakkan tangannya seakan-akan ia sedang memotret wajah Sekar

"Emang udah ngoleksi apa aja?" 

"Hmmm.... bengong, sinis, terkejut, lesu, kaget, malu, salting..."

"Marah belum kan?" sela Sekar tak tahan dengan ejekan Arya

"Aku akan tersanjung kalau itu bisa terjadi gara-gara aku, itu artinya kita sudah cukup dekat sehingga kamu punya alasan marah sama aku. Dan aku menantikannya!" Sekar tak tahan untuk tertawa lepas. 

"Lho? Kok malah ketawa? Dan tambah lagi koleksiku" katanya heran kemudian tersenyum senang.

"Ya kamu aneh, masa nungguin orang marah? Di mana-mana orang gak ada yang mau dimarahin!"

"Justru sebaliknya, orang marah karena peduli, maksudku marah di sini, marah antara dua orang yang saling kenal ya! Kalau dia nggak peduli ngapain marah, cuekin aja!"

"Itu beda, marah yang aku maksud ya marah dengan nada memaki dan emosi, bukan marah karena kecewa atau cemas..."

"Berarti koreksi, aku mau nungguin ekspresi marah kamu muncul karena mencemaskanku!"

"You wish!" ejek Sekar

"Lho... iya...." tiba-tiba mesin cuci Sekar berbunyi, ia mengabaikan Arya dan langsung bergerak mengikuti menuju mesin cucinya, Aryapun beranjak dan mengikuti langkah Sekar. 

"Mo ngapaen?"

"Bantuin, boleh kan?"

"Sekalian kamu aja yang kerjain!"

"Imbalannya apa?" 

"Emang ya manusia, menjalin hubungan karena adanya kepentingan!" ucap sekar sinis tanpa memedulikan Arya, ia kembali menuju mesin cucinya. Arya langsung meraih tangan Sekar dan menyadari kesalahannya, raut wajahnya menggambarkan penyesal yang memandang langsung ke mata Sekar. 

"Sorry... aku becanda!" ucapnya sambil menarik tangan Sekar dan memaksanya untuk duduk. 

"Kamu duduk aja! Biar aku yang kerjain!" jelasnya dan langsung pergi menuju mesin cuci Sekar, meninggalkan Sekar dalam suasan hati yang jemu. Ia bahkan tidak peduli saat Arya mulai mengambil pakaiannya satu persatu dari mesin cuci dan kemudian menaruhnya di keranjang kosong, bahkan saat Arya tanpa ragu meraih busana yang menutupi organ intimnya. Ia membiarkan Arya melakukan itu semua, hanya mengintip apa yang Arya kerjakan dari belakang, dan sekali lagi ia menikmati pemandangan indah yang Arya suguhkan untuknya. Dan pemandangan itu telah selesai melakukan tugasnya, Arya kembali menuju ke tempat duduknya, di samping Sekar dengan pandangan seakan minta pujian. 

"Apa?"

"Thank you...?"

"Lho... aku nggak minta, kamu yang mau kok!" bela Sekar yang dibalas Arya senyum sambil megangguk. 

"Iya kamu ada benarnya! Aku yang terlalu pede dan sok heroic gitu tadi, padahal yang kamu liat aku berbuat bodoh!"

"Itu tau..!" sekali lagi percakapan mereka terganggu oleh bunyi mesin. Kali ini datangnya dari mesin pengering pakaian Arya. Mereka sempat menoleh ke sumber suara.

"Kok masih di sini? Udah kelar kan?" tanya Sekar bingung Arya tidak menampakkan keinginan untuk menyelesaikan pekerjaannya. 

"Nanti aja sekalian ama punya kamu, aku yang nanti kerjain, kali ini nggak pake imbalan, serta terima kasih. Promise!" ucapnya sambil mengangkat tangannya kemudian melipat jari kelingking, manis dan ibu jarinya ke dalam, menyisakan jari tengan dan telunjuknya tegak. 

"Liat aja nanti..." 

"Jadi.... apa pekerjaanmu sampai mengharuskan kamu ke pengadilan?"

"Tetap ya usaha... akan aku jawab kalo kita memang berjodoh!" ucapnya sambil memainkan kedua jari telunjuk dan tengahnya naik turun menjadikannya sebagai tanda petik.

"Wah berarti ada pertemuan berikutnya dong? Kalau begitu aku boleh minta nomor hape kamu?" dengan semangat Arya merogoh kantung celana pendeknya, saat Sekar ingin menolak membagikan nomor ponsel miliknya kepada Arya tiba-tiba ponsel Arya berbunyi tepat saat ingin ia mengeluarkannya.

"Sebentar ya, kayaknya penting, dari teknisiku nih!" ucap Arya tanpa membiarkan kesempatan kepada Sekar untuk berucap, ia langsung berlalu meninggalkan ruangan tersebut. Sekar kemudian kembali bersandar membiarkan udara dingin ruangan itu menyapu kulitnya. Sesekali ia menggerakkan tubuhnya untuk mengintip Arya hingga akhirnya proses pengeringan pakaiannya selesai. Ia memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya, dan saat ia ingin mengangkat tas yang sudah terisi dengan pakaian bersih, Arya datang tergesa-gesa untuk membantunya sambil menggerutu.

"Kok nggak nungguin aku? kan aku udah janji biar aku yang kerjain!" 

"Santai, lagian aku mo cepet-cepet pulang" ditepiskannya tangan Arya.

"Biar aku yang angkat, kamu datang pake apa?" kali ini Arya menepis tangan Sekar dan mengambil alih tas yang sudah terisi penuh pakaian Sekar. 

Sekarpun membiarkannya.

"Motor, tuh parkir di sana" ucapnya, dengan cepat Arya menenteng tas Sekar menuju motor Sekar yang terparkir tanpa teman. 

"Taro di sini ya!" jelas Arya menyalipkan tas Sekar di sela antara kemudi dan jok motor Sekar.

"Ok, kali ini kamu pantas mendapatkan ucapan terima kasih!" ucap Sekar sambil menaiki motornya begitu Arya menyelipkan tasnya, dan kemudian ia mengambil helm half face berwana hitam pekat yang tergantung di spion bagian kanan kemudi motor, lalu  mengenakannya. 

"Nomor kamu?"

"Kalau emang beneran katamu kita jodoh, pasti bakalan ditakdirkan ketemu lagi kok, saat itu terjadi, kamu boleh simpan nomorku dan aku bakalan kasih tau pekerjaanku, tapi sekarang kita sampe di sini aja, senang berkenalan dengan Anda, Mas Arya!" ucap Sekar sambil melajukan motornya meninggalkan Arya dalam kebingungan.



Post a Comment

0 Comments