Madyam Padham Chapter 1 - Kebetulan yang disengaja?


Suhu udara sore hari selalu memberikan ruang napas bagi para pekerja di penjuru dunia, mereka yang terpaksa bekerja dari pagi dengan alasan menyambung nyawa mengubah raut wajah yang semula ditekuk tegang menjadi wajah ceria seorang anak kecil yang rindu akan hari libur setelah menempuh panjangnya ujian akhir. 

Serentak semua orang memenuhi sisi jalan utama pusat perkantoran berada, kotak besi dengan roda empat dari segala ukuran yang hampir semuanya didatangkan dari penjuru dunia menumpuk dan membanjiri jalanan. Tentu tidak semua orang mempunyai jam sibuk yang sama, hidup di zaman dengan berbagai macam sumber penghasilan membuat kemajemukan mata pencaharian, sehingga bisa saja suhu udara sore mempunyai arti sebaliknya bagi kebanyakan orang. 

Termasuk Sekar

Sedari awal ia sadar bahwa risiko dinamika  jam dan hari kerja yang serampangan dari profesi yang ia idamkan akan membuat hidupnya tidak teratur. Pekerjaan ini menuntutnya untuk tidak mengenal istilah pembagian waktu dan hari dalam bekerja. 

Pagi ini bisa saja ia berada di kantor, besoknya di waktu yang sama mungkin ia sedang bersiap - siap untuk berangkat kerja, lusa pagi ia bisa saja masih terlelap di atas kasur karena ia mendapatkan giliran untuk bekerja pada sore hari atau setelah lusa di saat seluruh mayoritas penduduk dalam radius dua ratus kilometer di dekatnya akan bangun dalam keadaan segar, justru dirinya berada pada taraf terbawah di mana dirinya sudah tidak terlihat seperti manusia, melainkan seperti zombie istilah untuk mayat hidup yang tidak berpikiran dan bernafsu memangsa manusia, namun yang diinginkan Sekar adalah memangsa furnitur bersegi panjang dengan lebar satu setangah meter dan panjang dua meter untuk membaringkan tubuhnya. 

Dan kini Sekar tertatih - tatih melakukannya, ia tidak memedulikan teriakan tetangga kosnya yang kesal karena Sekar lupa menutup pagar. Metabolisme tubuhnya sudah tidak dapat menghasilkan energi lebih.

Terukir garis senyuman yang hampir menghilangkan bibir atas dan menyisakan bibir bawahnya saat ia berhasil membaringkan tubuhnya di atas kasur, sejenak ia berfikir bahwa dirinya sudah merdeka, namun sesaat dirinya hampir berhasil menuju tahap dua pada fase non-REM. Tiba - tiba jantungnya memompa aliran darah dengan kencang kembali dan membuat mata Sekar semula terkatup seketika terbelalak. 

Ponselnya terlalu sopan untuk sekedar bergetar, tanpa sungkan ia memekikan suara dengan tingkat kenyaringan penuh. Sekar enggan menghampiri dan membunuh akar yang mengusik tidurnya, ia memilih untuk meniadakan suara itu dengan menanamkan sugesti pada otaknya bahwa keadaan dikamarnya sunyi. 

Namun yang ia lakukan tak membuahkan apa - apa, ia tak dapat menaiki tahap berikutnya, dan ponselnya semakin melunjak. 

Dengan lunglai Sekar meraih ransel coklat yang terbaring tiga puluh sentimeter dari paha kirinya dan tentu saja dengan kaki kirinya. Setelah berhasil menggenggam ujung tali ranselnya setelah beberapa kali mendepak, Sekar menyeret ransel tersebut dan langsung membuka tasnya untuk megambil ponselnya yang tidak kunjung berhenti bernyanyi. Tertulis Pak Bos di layar ponselnya, kemudian ia menjawab panggilan si bos dengan helaan napas panjang.

"Sorry... tapi ini mendesak banget, kamu sekarang pergi ke Polda! Tersangka kasus pembunuhannya Sherly ketangkep!" satu kalimat yang ia dengar langsung membuat organ adrenalnya bekerja. 

Manusia yang tadinya tampak seperti mayat hidup kini kembali cerah. 

"Aku udah share loc, cuman kamu yang bisa ke sana, si Baim masih sakit, Dian ama Ipul lagi fokus ama perampokan di Bantul. Roni otewe ke sana, kamu buruan dan kalo bisa nanti on kem ya!" titah si bos kembali. 

Sekar tak perlu memberikan jawaban, lekas ia mengambil tasnya tanpa menghiraukan bentuknya yang tidak mencerminkan seorang wanita. Rambut tebal panjang bergelombang sebahu semakin terlihat tebal dan mengembang karena sudah lepek tak dicuci tiga hari. Wajah kusam memaparkan rona usia yang melebihi umurnya. Bibir merah sirna tersamarkan bubuk putih mengelilingi ujung mulutnya, dan mata besar dengan alis panjang di atasnya sembab menandakan ia terjaga dalam waktu yang lama.

Sekar tiba tepat waktu, setelah memarkirkan sepeda motor matic-nya, ia bergegas mengikuti rekan sesama reporter berlarian saat mobil patroli polisi memasuki area Polda diikuti beberapa mobil lainnya. Kerumunan manusia serempak menodongkan perekam suara, ponsel, microphone, dan sebagian lainnya sibuk mengambil gambar menggunakan segala jenis kamera, tidak tertinggal pula ada yang merekam peristiwa itu. Sekar yang melihat teman sekantornya Roni langsung menyeretnya dan masuk di sela kerumunan.

***

Setelah selesai dengan semua yang harus ia lakukan di Polda, Sekar tak langsung pulang. Tubuhnya sudah terlanjur segar dan ia enggan berada di kosan sendirian setelah mendapatkan rangkaian kasus Sherly. Kamar kos yang harusnya menjadi tempat yang nyaman dan aman untuk seorang perantau, menjadi teror baru bagi Sekar. 

Akhirnya ia memutuskan untuk berdiam diri dan menjernihkan pikirannya dengan menyeruput Americano panas untuk menghilangkan kasus Sherly dari benaknya. Ia duduk samping jendela kaca yang menjulang tinggi, bersandar pada sofa mungil dengan sandaran hingga kepala membuatnya semakin nyaman, ditambah dengan suasana vintage yang mengelilingi kafe ini  memupuhkan keremajaan bagi psikisnya. 

Mata Sekar tertuju pada jalan bersapal yang sejak ia meletakkan tubuhnya tak ada satupun kendaraan yang lewat.

"Hey!" 

Saat sedang menikmati aliran kafein yang masuk dalam rongga pencernaannya tiba – tiba ketenangan Sekar terusik oleh kehadiran sosok pria seusianya yang sudah berdiri di samping tempat ia duduk. 

Sekar menoleh dan mengayunkan wajahnya keatas kemudian mengernyitkan dahi serta menatapnya bingung. Tangan kirinya ia lepas dari cangkir bening cerah dan diarahkan ke dadanya dengan perlahan sedangkan tangan kanannya tetap pegang kendali atas cangkir tersebut. 

"Iya, aku Arya!" balasnya dengan mengangguk lalu mengulurkan tangannya. 

"Maaf, saya sedang tidak ingin digangu!" Sekar menimpalinya hanya dengan membuang muka.

"Hmmm... oke maaf kalau mengganggu kamu" ucapnya seraya mundur menjauhi Sekar. S

emenit kemudian ketenagan Sekar kembali memanjakan jiwanyanya. 

Di tempat kesuakaannya di dalam kafe yang entah sudah keberapa kali ia datangi dalam minggu ini.

***

Kasus Sherly akhirnya ditutup setelah pengadilan menjatuhi hukuman kepada tersangka, Sekar menyampaikan kabar baik tersebut kepada khalayak umum dengan wajah segar dan kepuasan, paling tidak menurutnya putusan pengadilan sesuai. 

"....atas pembuhuan tersebut ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sekar Diajeng Wardani melaporkan!" serunya dan usai sudah tugasnya berbicara sambil memegang micrphone hadap kamera. 

Sekar langsung bersiap – siap untuk kembali ke kantornya, namun saat hendak menghampiri Roni tiba – tiba ada yang menabraknya, saat ingin menegur orang yang menabraknya orang tersebut dengan cepat menurun – naikkan kepalanya seraya meminta maaf kemudian berlalu tergesa - gesa tanpa menunggu balasan darinya.  

"Kamu nggak papa?" Roni menghampirinya dengan cemas, dan hanya dijawab gelengan tanpa melihat ke arah Roni, padangannya masih mengikuti orang tersebut yang berlari menuju parkiran mobil. 

"Kamu kenal?"

"Itu cowok yang kemarin aku cerita!" ungkapnya

"Yang ngajak kenalan di Dacha?" Roni menyebutkan nama kafe yang sering di datangi oleh Sekar. 

Kali ini sekar mengangguk.

"Cakep lho Dan! Tapi percuma lah, paling bakalan nyerah ama kamu!" goda Roni sambil memasukkan tripod ke dalam wadahnya.

"Aaaaseem... udah dibilang!"

"Bukannya aku yang bermasalah tapi merekanya aja yang nggak mau nerima kamu apa adanya... iya iya... tauk! Dah yuk cabut!" merekapun meninggalkan pengadilan berikut kasus Sherly.

***

Tinggal dengan menyewa kamar dan mengurusi diri sendiri memang mempunyai daya tarik tersendiri, bagi Sekar tantangan terbesarnya adalah rasa malas terutama saat datangnya bersamaan dengan serbuan pekerjaan, namun semalas – malasnya Sekar, dan setidak pedulinya ia dengan penampilan, ia tidak ingin lagi tak diizinkan masuk ke dalam kantor karena lupa dan malas mencuci seragam. 

Setiap hari senin tempat kerja Sekar mewajibkan seluruh karyawannya menggunakan seragam, bila ada yang melanggar, maka tidak diperbolehkan masuk ke area kantor. 

Hal ini pernah terjadi oleh Sekar dengan alasan yang sama yaitu lupa jika hari itu hari senin, tambah lupa mencuci seragamnya. Terpaksa ia harus kembali ke kosnya dan itu taruhannya adalah potong gaji, karena ia dipastikan akan terlambat tiba di kantor. 

Pernah juga karena seragamnya belum dapat ia ambil dari tempat pencucian pakaian langganannya karena seragamnya belum disiapkan, padahal ia datang setelah hari keempat, lebih sehari dari waktu yang ditawarkan. 

Atas dasar itu ia memutuskan untuk apapun yang terjadi, setiap hari minggu ia akan pergi ke tempat mencuci pakaian dengan sistem pelayanan sendiri yang beroperasi selama dua puluh empat jam tanpa henti, karena ia tak punya pilihan lain. 

Paling tidak dengan memiliki jadwal rutin walaupun hanya satu dalam hidupnya saat ini, ia dapat menjadi manusia normal. 

Ia takut tidak dapat keluar dari kehidupan yang serba berantakan. 

Sekar kini sedang melaju di atas sepeda motornya menuju tempat pencucian pakaian langganannya, terhujani sinar bulan penuh bercampur cahaya lampu jalan. 

Seperti minggu sebelumnya dan sebelumnya, ia pergi di jam berbeda, dan saat ini ia melaju pada pukul dua dini hari. Ironis, kegiatan teratur yang ia lakukan di hari yang sama, namun di waktu yang semrawut. 

Begitu ia tiba di dalam tempat pencucian pakaian, dengan cekatan ia membuka pintu mesin pencuci pakaian dan memasukkan seluruh pakaiannya serentak. Cukup menguntungkan datang di pagi buta seperti ini, karena ia tak perlu antre. Karena sering kali ia datang saat kerumunan melonjak, bahkan ia pernah menunggu hingga empat jam untuk mendapatkan gilirannya, padahal waktu yang diperlukan mencuci tidak sampai enam puluh menit. 

Setelah dirasa sudah masuk semua, sekar mengeluarkan kartu dan menempelkannya pada kotak berlayar kecil yang semula bertuliskan tempelkan kartu anda berganti menjadi tekan mulai untuk mencuci, kemudian berjalan mundur sepuluh langkah dan duduk diatas bangku yang tersedia tanpa menyadari bahwa sejak awal ia masuk sepasang mata memerhatikannya.

Sepasang mata itu masih memerhatikan Sekar tanpa membuat gerakan, hingga akhirnya Sekar menyadari bahwa ada yang memperhatikannya, lehernya berputar menangkap sinyal dari sepasang mata itu dan saat pandangan mereka bertemu Sekar hanya memundurkan kepalanya dan memasang raut wajah kebingungan. 

"Ketemu lagi!!"

"Aku sempet nggak yakin kalo itu kamu!" jelasnya sedikit bergeser memperbaiki posisi duduknya yang berjarak hanya satu ruang bangku kosong dari Sekar. 

Tanpa sadar Sekar ikut membetulkan posisi duduknya, dan kini mereka berhadapan. 

"Waah nggak nyangka bisa ketemu di sini, pertemuan pertama emang aku sengaja nyamperin kamu, tapi pertemuan kedua ini kita dipertemukan, dan kalau sampai kita bertemu lagi tanpa sengaja untuk ketiga kalinya berarti kita jodoh nih!" 

Sekar berdecak remeh.

"Kamu yakin ini pertemuan kedua?" untuk kedua kalinya ia memperbaiki posisinya, kali ini kedua tangannya menyilang di atas dadanya. 

"Lho? Emangnya ada lagi?" 

"Kamu beberapa hari lalu di pengadilan.... ah udahlah, gak penting" Arya hanya mengernyitkan dahinya dan seketika mimiknya berubah seperti mendapatkan kejutan.

"Oooh... iya aku baru ngeh! Wah fix ini mah jodoh!" tambahnya yakin kemudian mencodongkan tubuhnya ke arah Sekar.

"Jodoh dari Hongkong!" celanya kembali tanpa menoleh pada Arya, matanya tertuju pada kaca mesin cuci yang berputar, mengaduk – aduk pakaiannya. 

"Nggak usah jauh – jauh orang di depanmu ada kok!" 

"Begini, Misteer....?" Sekar menoleh sesaat

"Arya!"

"Oh iya.. Mas Arya! Pertama, kita tinggal di kota yang sama, jadi peluang untuk bertemu sesekali itu wajar, kedua, saya tidak percaya dengan yang namanya jodoh tanpa adanya proses! Apalagi sama orang yang tidak saling kenal!"

"Makanya kenalan! Arya Alvaro!" Sekar menoleh pada tangan yang terbentang di hadapannya. Tangan itu bergoyang, berharap mendapatkan reaksi yang sama. 

Sekar menghela nafas panjang.

"Saya tidak ada alasan untuk kenalan dengan Anda!" 

"Lho apa salahnya?" tangan Arya bergerak turun. 

"Menurutku justru banyak alasan untuk berkenalan dengan orang, karena nambah kenalan berarti nambah peluang jodoh!" Sekar hanya menggelengkan kepalanya, enggan menimpali. Ia melirik pada layar mesin cuci tersebut, tertera angka 18.

"Kamu ngikutin aku ya?" serang Sekar tak mempudulikan argumen Arya.

"Ngikutin kamu?"

"Lumayan langka lho ada orang yang bertemu dengan orang lain... di tempat yang berbeda dalam waktu yang berdekatan, dalam jangkauan wilayah yang luas dan penduduk yang padat!" beber Sekar yang dijawab dengan tolehan dan anggukan ke mesin cuci yang berjarak dua mesin cuci dari sebelah kiri mesin cuci yang terisi pakaian Sekar. 

Ia kemudian mengikuti pandangan Arya dan terdapat di layar angka 7. 

"Oke! Kenapa ngomongin jodoh? Mas nya kebelet nikah ya?" sindir Sekar sinis.

"Ha ha ha ha... jodohkan nggak mesti harus berhubungan sama asmara, jodoh itu kan artinya cocok atau tepat, jadi maksudku dengan nambah teman berarti kita akan menambah peluang untuk menemukan orang yang tepat, tepat di jadikan teman, sahabat, relasi? Ya kan? Lagian sebenarnya alasan utamanya bukan itu kok! Tadi aku cuman becanda!"

"Trus?"

"Menurutku, alasan untuk berkenalan degan orang asing itu banyak dapat keuntungan, karena kita bakalan nambah ilmu, pengalaman, dan yang penting sih link! Kamu tau nggak sih kalau peluang mendapatkan pekerjan  atau proyek dari relasi dan link itu peluangnya lebih besar dibanding kita usaha sendiri?"

"Hmmm.. kamu ada benarnya!"

"So..." kembali tangan Arya berada di hadapan Sekar, dengan lesu ia menyambutnya.

"Dani!"

"Dani....?" 

"Sekar Diajeng Wardani" Arya melayangkan senyuman tipis, Sekar menarik tangannya dengan cepat. 

"Salam kenal Dan! Semoga kita berjodoh" ucapnya sambil memerkan barisan giginya yang rapi dan putih menarik bibirnya yang tebal serta membuat rahangnya berbentuk sedikit oval.



Post a Comment

0 Comments