Sang surya seakan sekutu bagi Sekar, ikut menampakkan tidak sukanya pada Arya, mentari tak sungkan menerobos masuk ke dalam pori-pori kulit Arya yang duduk di hadapan Sekar, hanya dipisahkan oleh meja persegi, namun mereka mendapatkan perlakuan yang berbeda dari semesta.
Duduk di samping jendela memang berisiko menjadi incaran sinar ultraviolet, terutama pada siang hari menjelang sore, dikarenakan matahari belum berniat untuk menurunkan intesitas panasnya. Ia masih berhak untuk menyiksa mahluk bumi selama paling tidak empat jam kedepan.
Sekar sedikit beruntung karena daun pepohonan yang merambat berhasil menjadi penghalang, meneduhkan Sekar. Akan tetapi ranting tak cukup panjang untuk ikut melakukan hal yang sama kepada Arya.
Sebenarnya bisa saja Arya pindah dari sana, atau bertukar tempat dengan Sekar, namun naluri kejantanan yang menggebu-gebu untuk mengikat hati Sekar, menjadikan dirinya tak masalah untuk diterpa panasnya cahaya. Sesekali ia harus memicingkan mata saat matahari lancang menghantam wajahnya.
Kejadian beberapa menit lalu bisa saja membuat siapa pun wanita di muka bumi ini yang haus perhatian, terlebih cinta akan terpesona dan mendaratkan hatinya pada Arya. Akan tetapi, itu tak berlaku bagi Sekar, ideologinya lebih bertindak saat ia dihadapkan dengan persoalan hubungan antar manusia.
Baginya kisah percintaan tak lebih dari perasaan semu yang berkamuflase, berusaha membenarkan apapun tindakan mengatas namakan cinta. Tak jarang, ia mendapati kasus kejahatan yang berkaitan dengan kisah asmara.
Suami yang membunuh istri karena cemburu sang istri mempunyai teman pria lain, istri membunuh wanita lain yang dimiliki sang suami, bahkan hal tersebut tak jarang terjadi pada sepasang kekasih yang belum menikah.
Contohnya, baru-baru ini tejadi kasus pembunuhan yang sedang diikuti oleh tim divisi kriminal dan kejahatan tempat kerja Sekar. Kasus mengenai seorang pria membunuh kekasihnya, kemudian ia memutalasi jasad korban hingga menjadi dua belas bagian, tujuannya bukan lain untuk menghilangkan jejak.
Motif pembunuhannya pun klise, sang perempuan minta untuk dinikahi. Berawal dari pertengkaran kecil berbuntut kriminal dengan berakhirnya nyawa sang perempuan saat ia mencoba mengancam akan memberitahu keluarga sang lelaki perihal kehamilannya, tak ada cara lain agar sang lelaki bertanggung jawab.
Nahas, bukan pelaminan yang didapat melainkan akhirat yang ia tuju.
Selain itu, kehidupan yang cenderung repetitif membuahkan pemikiran pada Sekar bahwa percintaan sekadar jembatan bagi manusia untuk melestarikan kehidupan manusia itu sendiri. Manusia lahir, tumbuh dalam keluarga dengan berbagai macam aturan agar dapat tetap diasuh, bekerja setelah keluarganya merasa ia mampu menafkahi diri sehingga tak perlu diasuh, menikah agar menghasilkan manusia baru yang dapat mereka asuh, sakit-sakitan saat tua dan kembali diasuh, kemudian mati.
Siklus yang selalu diulang oleh setiap manusia dimuka bumi ini.
Walaupun, tak jarang bahwa siklus itu tidak bekerja pada setiap insan, ada yang langsung mati tanpa melakukan tahapan selanjutnya, ada pula yang mati setelah melalui beberapa tahapan, namun apapun itu, kematian lah yang menjadi tujuan.
Sekar mendapati pemikiran ini setelah mengalami realita kehidupan saat keluarganya harus meninggalkannya sendiri selama-lamanya. Jadi, tidak heran Sekar tak menaruh perhatian penuh pada persoalan cinta, itu mengapa ia tidak pernah merasakan kecewa, sedih, bahkan patah hati, saat semua pria yang menyatakan cinta padanya berakhir meninggalkannya.
Sebenarnya, bukan salah Sekar sepenuhnya, karena Sekar hanya menjalankan perannya sebagai mahluk sosial, ia merasa diuntungkan dengan memiliki kekasih, paling tidak saat ia tak berdaya karena sakit menyerang, ada yang mau mengurusnya dari hal kecil seperti mempersiapkan makan untuknya, hingga hal besar seperti membantunya buang hajat.
Egois bila hanya Sekar yang merasa diuntungkan, pria itu juga mesti merasa diuntungkan karena mendapatkan perempuan yang cantik, pintar, mandiri. Sekar dapat meningkatkan status pria tersebut dalam lingkup sosialnya.
Tetapi tak lebih dari itu, keegoisan Sekar tak dapat memenuhi keinginan pria yang semula hanya tertarik pada fisiknya berujung pada tuntutan lain, mereka menginginkan Sekar membalas perlakuan mereka, menyediakan waktu untuk mereka, memberikan perihal yang sama, bahkan tak jarang banyak yang mengingkan Sekar sebagai pemuas nafsu belaka.
Sekar hanya mengejek pada realita saat satu persatu pria yang katanya mencintainya akhirnya mundur karena tak mendapati apa yang mereka inginkan. Semua usaha, perhatian, ketampanan fisik, kekayaan materi, tak dapat membuat Sekar luluh, tak jarang Sekar mendapati cibiran dari teman-teman wanitanya karena mereka tak mampu mendapatkan pria-pria seperti mereka yang mengincar Sekar.
"Kamu mau duduk di sana kan? Aku mundurin meja ama sofanya dikit ya biar kamu nggak kesilauan" ucap Arya setelah berhasil meyakinkan Sekar bahwa tak masalah untuknya membayarkan pesanan Sekar.
Tanpa menunggu jawaban Sekar, Arya langsung menjalankan aksinya, ia berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi yang dihasilkan dari gesekan lantai dengan meja serta bangku yang dipindahkan. Seketika, pria itu sukses membuat Sekar duduk dengan nyaman di sofa favoritnya tanpa takut paparan sinar matahari membakar kulitnya.
"Bagaimana kamu tahu ini tempat favoritku?" tanya Sekar, tak ingin mengakui bahwa ia cukup terkesan dengan tindakan Arya.
"Sebenarnya pas aku nyamperin kamu pertama kali itu.... itu keempat kalinya aku melihat kamu duduk di sofa ini, aku boleh duduk di sini kan?" jelas Arya yang masih berdiri di samping tempat duduk Sekar seraya menunjuk sofa berbentuk dan bernada sama seperti yang ada diduduki Sekar, kali ini ia mendapatkan jawaban Sekar tanpa argumen.
"Oh ya? Jadi bisa dibilang ini ke tujuh kalinya kita berada di tempat yang sama?" hanya dijawab anggukan oleh Arya.
"So, kapan misteri itu terpecahkan?" tanya Arya saat tubuhnya bersandar pada sofa yang tingginya tak dapat menampung seluruh badannya. Tidak seperti sofa Sekar yang masih menyisakan sedikit ruang di atas kepala Sekar.
"Kenapa waktu itu kamu nyamperin aku?" malah dibalik tanya Sekar tanpa memedulikan pertanyaan Arya.
"Pertama kali aku liat kamu kayanya dua bulan lalu, aku duduk di sana," Arya berbalik dan menunjuk tempat duduk pelanggan yang berada setelah dua bangku di belakangnya. Dari posisi itu mau tak mau Arya pasti akan melihat wajah Sekar setiap kali ia menatap ke depan.
"Waktu itu aku sedikit terngganggu karena ada suara cewek di depanku yang tiba-tiba ketawa, pas aku liat, ternyata cewek itu mempunyai ekspresi ketawa yang membuat orang lain jadi ikut tersenyum. Selang berapa hari untuk kedua kalinya aku lihat kamu pas aku duduk di sana," kali ini Arya menunjuk sebelah kanannya, jarak antara mereka duduk dengan tempat duduk yang di duduki oleh remaja laki-laki masih menggunakan seragam sekolah tak begitu jauh, cenderung bersebelahan namun dengan sudut miring yang berbeda.
"Waktu itu kamu keliatan berbeda, kamu kliatan seperti orang yang frustasi, tapi kamu nggak terlalu nampakin itu, kamu cuman asik memejamkan mata sambil pegang cangkir dan sesekali hirup cangkir tapi nggak diminum. Aku rada bingung si ama sikap kamu waktu itu. Trus yang ketiga kalinya aku liat kamu dari sana lagi," kali ini ia menunjuk tempat yang semula.
"Aku baru dateng trus liat kamu lagi senyam-senyum sendiri ngeliatin hape, ya lucu aja gitu. Trus yang keempat kalinya pas aku nyamperin kamu, waktu itu kamu kembali seperti orang frustasi, aku lebih suka liat kamu pas senyam-senyum, makanya aku mau kenalan ama kamu, ya paling nggak mungkin aku bisa bikin kamu ketawa, aku punya banyak jokes lho!"
"Oh ya? Coba!" pancing Sekar.
"Kamu tahu nggak kenapa laut warnanya biru?"
"Hmm... menurut ilmiah sih karena warna biru itu punya energi lebih tinggi dibanding warna lain sehingga bisa masuk ke dalam air lebih dalam, sedangkan warna lain udah abis terserap, makanya pantulan yang berhasil dipancarkan ya warna biru. Tapi bukan jawaban itu kan yang kamu mau?" Arya terkekeh kecil seketika Sekar berubah serius.
"Iya, itu mah aku juga tau... tapi bukan itu, kenapa laut warnanya biru, soalnya ikan-ikan dilaut ngomongnya blu blu blu blu...." kata Arya menahan tawan akan leluconnya sendiri.
"Dih, apaan si... jayus tau nggak..." ucap Sekar ikut menahan tawa.
"Ketawa aja lagi, nggak usah ditahan!" goda Arya sukses membuat Sekar salah tingkah untuk kedua kalinya.
"Dih apaan..." saat ingin melanjutkan, tiba-tiba pramusaji menginterupsi Sekar, Arya yang melihat pramusaji bernama Rendi itu sedikit kesulitan menyajikan pesanan mereka, berinisiatif membantunya, ia berdiri dan mengambil pesanan Sekar lalu meletakkannya ke atas meja di hadapan Sekar, kemudian baru miliknya. Setelah sajian dipastikan sudah sesuai dengan pesanan mereka, pramusaji tersebut kembali dan meninggalkan mereka dalam keheningan.
"So... kapan misteri itu akhirnya bisa terpecahkan?" ucap Arya setelah menyeruput mochaccino pesanannya.
"Misteri apaan? Gunung Merapi? Mak lampir kali ah!" ucap Sekar sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya setelah meletakkan kembali cangkir berisi Americano pesanannya ke atas meja.
"Nomor telepon kamu, dan pekerjaan kamu...." ia berdeham sebentar kemudian memajukan badannya dan membuat gerakan seperti orang yang sedang mengendarai motor, lalu melanjutkan.
"Kalau emang beneran katamu kita jodoh, pasti bakalan ditakdirkan ketemu lagi kok, saat itu terjadi, kamu boleh simpan nomorku dan aku bakalan kasih tau pekerjaanku..." ucapnya berusaha menirukan gaya Sekar saat ia meninggalkan Arya di tempat pencucian kilat.
Tingkah Arya berhasil menghadirkan tawa kecil di wajah Sekar, memecahkan kecanggungan yang sempat menyelimuti mereka.
"Apaan si, norak deh!" kilah Sekar berusaha menyembunyikan rasa panas di kedua pipinya, ia sangsi rasa panas itu karena cahaya matahari yang berusaha menerobos dari balik dedaunan.
"Aku wartawan, ini kartu namaku," kata Sekar sambil membuka ranselnya dan mengambil kartu nama yang terselip dalam dompetnya. Arya menerima selembar kerta persegi panjang dengan ukiran Sekar Diajeng Wardani sambil tersenyum puas.
"Woow, pekerjaan yang keren, kamu kerja di Berita Ternama? Aku suka nonton program Lacak lho!"
"Serius?"
"Hooh, programnya bagus, nggak terkesan dokumenter, malah kaya nonton film, keren banget! Kamu di program apa kalo boleh tau?"
"Kantorku dibagi bukan per program si, tapi lebih ke per kategori gitu, aku di bagian kejahatan dan kriminal, salah satu program yang aku pegang itu Lacak, aku jadi tim penulisan naskah!"
"Wooow... aku nggak percaya bisa bertemu sama salah satu orang yang membuat program televisi favoritku!" ucapnya sambil mengeluarkan ponselnya dan mencatat nomor yang tertera pada kartu nama Sekar.
"Tengkyu, eh tapi jangan save nomor yang itu, itu nomor kerjaan soalnya, save nomor pribadi aja, soalnya kan kita kenal di luar pekerjaan!" ucap Sekar sambil mengeluarkan ponselnya kemudian meminta nomor Arya untuk di simpan. Setelah proses bertukar nomor ponsel selesai, Arya kembali mengorek mengenai Sekar.
"Kamu kenapa milih jadi wartawan kalo boleh tau?"
"Cita-cita dari kecil, awalnya aku mau jadi detektif, karena nonton anime The Great Detective: Ayumi...."
"Oh aku tau anime itu, aku juga suka nontonnya pas waktu kecil, malah aku koleksi semua komiknya!" ucapnya antusias.
"Trus kamu nggak ikutan jadi detektif?"
"Enggak lah, trus, trus?"
"Pas SMA gara-gara kasusnya Bu Ratih aktifis hak asasi buruh dan wanita meninggal karena racun.... kamu tau kan?" Arya hanya mengangguk serius.
"Nah asistennya kan sempat jadi tersangka, saat itu Wulandary Herman yang berusaha membuat dia nggak bersalah, dia menginvestigasi dan menayangkan bukti-bukti kalo asistennya itu korban, dari situ aku takjub sama peran wartawan. Aku jadi ngefans sama beliau, dan menurutku pekerjaan wartawan mirip-mirip ama detektif, terutama buat program kriminal dan kejahatan. Sejak itu cita-citaku berubah, lebih pengen jadi wartawan karena perkerjaannya lebih real dan lebih masuk akal!"
"Trus kamu sekarang bekerja di stasiun tivi yang sama dengan beliau, kamu pasti seneng banget dong?"
"Banget, tapi sayangnya sebelum aku lulus kuliah dia udah meninggal... padahal salah satu impianku bisa jadi bawahannya dia!"
"Tapi paling nggak cita-citamu berhasil terwujud, banyak di luar sana yang berjuang demi mewujudkan cita-cita, bahkan yang lebih miris itu, banyak manusia di luar sana yang nggak punya cita-cita, mereka terjebak di lingkaran setan karena sekedar bertahan hidup!" satu kalimat yang keluar dari mulut Arya mampu membuat Sekar terbelalak, pasalnya, apa yang ia pikirkan sama dengan apa yang Arya pikirkan, ironi pelik yang dihadapi kebanyakan kaum milenial.
"Kok lagi-lagi kita sepemikiran ya?" ucap Sekar takjub, seperti menemukan serpihan cermin pada diri Arya.
"Oh ya? Kamu mempunyai pemikiran yang sama?" Arya tak kalah takjub, suasana siang itu membuat perasaan Sekar semakin memanas, ia mendapati diri Arya berbeda dari semua pria yang pernah ia kenal.
Setelah ditelisik, Arya ini sangat berbeda, ia sudah berusaha bersikap acuh padanya namun semesta seperti kembali mempertemukannya, terlebih Arya sama sekali tidak memberikan sikap kecewa dan juga protes terhadap semua perlakuan Sekar.
Beberapa kali pertanyaan Arya yang tidak langsung dijawab oleh Sekar tak membuat Arya kesal dan kecewa, sikap kasar tak bersahabat yang ditunjukkan Sekar pun tak membuat pria dengan fisik khas Indonesia asli ini terpancing emosi.
Biasanya pria yang mendekati Sekar akan menjauhinya begitu mendapati Sekar tidak bersahabat, egois dan mementingkan diri sendiri. Sekar menarik senyumnya, ia ingin melihat seberapa jauh Arya dapat bertahan dengan dirinya.
Ia sangsi pria di depannya akan bersikap nerima terus menerus, pasti ada sedikit keegoisan dalam dirinya yang menuntutnya untuk meminta balasan atasan semua yang sudah ia berikan kepada Sekar.
"Iya, aku sedih melihat fenomena jaman sekarang, kuliahnya apa, eee... kerjanya dibidang apa. Ironis!"
"Makanya kita-kita perlu orang seperti kamu Sekar, lewat media kamu bisa menyeruakan pendapatmu, kamu beruntung suaramu bisa didengar, jadi menurutku salah satu tugas peran media ya untuk memberikan efek positif kepada masyarakat bukan sebaliknya!" entah kenapa percakapan mereka menjadi lebih mendalam.
Sekar sedikit tergelitik dan tersentil atas pernyataan Arya. Ia menyadari bahwa Arya mempunyai daya tarik lebih selain dari fisiknya.
"Iya, aku tau, well, uangmu nggak usah aku kembaliin kan?" ucap Sekar mengalihkan pembicaraan yang membuat suasana di antara mereka semakin memanas.
"Kan udah aku bilang nggak usah, kamu yang sok-sokan gak enak pake gengsi!" ucap Arya enteng semakin menyudutkan perasaan Sekar.
"Ah tau gitu aku tadi pesan makan juga, kebetulan aku belum makan siang nih!" canda Sekar yang dijawab serius oleh Arya.
"Kamu mau dipesanin apa? Steak? Pasta? Cordon Blue? Turkey?" tawar Arya sambil beranjak.
"Hmmm... US Prime Beef Tenderloin, side dish-nya baked potato sama sayurnya aku minta brokoli aja, sausnya yang garlic mushroom ya!" jawab Sekar enteng menyebut menu termahal di kafe ini.
"Minumnya?"
"Hmm... strawberry lemonade boleh!" Sekar menyebutkan minuman perpaduan perasan lemon dan strawberry. Arya langsung melesat menuju tempat pemesanan meninggalkan Sekar yang duduk dengan perasaan menggelitik, ia senang mempunyai permainan baru sekarang.
Arya!
"Senang berkenalan dengan kamu Arya! Kita lihat sejauh mana kamu akan bertahan...." ucap Sekar pelan dengan tatapan mengikuti arah tubuh Arya melangkah.
Tanpa menyadari bahwa dirinyalah yang sebenarnya terjerumus pada permainannya sendiri.
0 Comments